Karena kami rapuh hingga kata bisa jadi kapak, karena kami keras hingga kata bisa jadi buaian; tanpa tahu akan jadi apa mereka berkata.
Stop pretending it doesn't and just let go.
Orang bodoh itu yang rela memberikan banyak hal untuk sesuatu yang pasti. Entah kenapa bertaruh dengan uang dianggap ilegal, sedangkan bertaruh hati boleh dilakukan kapan saja. Kami yang rela berlari ke sisimu hanya dengan sepenggal kalimat barangkali adalah yang paling bodoh, kami yang membawakan upeti padamu setiap kau ingin mungkin yang paling idiot.
Apa alasan bernama kasih masih bisa diterima?
Kami yang seperti penjaga sawah ini mungkin bodoh, tapi apalah arti kami dibandingkan kesenanganmu.
Karena katanya haru itu biru, padahal definisiku akan haru itu merah muda. Atau kuning. Karena haru bagimu pilu, sedang haru bagiku adalah bunga dan angin dan langit cerah yang dipenuhi warna merah muda. Tapi apalah arti warna yang membuat segalanya berbeda, padahal yang salah si bahasa.
Katanya saya terlalu banyak berpikir, A jadi sepanjang Z dan satuan menjadi jutaan. Katanya saya hanya melihat sisi terburuk dari orang, tak lagi melihat dunia tapi neraka di baliknya. Katanya, katanya. Tapi siapa yang bisa menafsirkan manusia, bahwa yang dilihat hanya sisi terburuk saya, bukankah kita jadi membuat kesalahan yang sama? Bahwa tersirat lebih penting dari yang tampak, siapa yang menentukan?
Kupu-kupu kuning yang pertama datang, barangkali pertanda mimpi yang baru dimulai. Mentari perlahan naik bersamaan dengan kita jatuh. Di dunia yang serba tak adil, kita mencari jalan. Sempit dan sulit, namun selama masih lurus menuju akhir mimpi, kita bisa berkata tidak apa, tuhan akan menunjukan jalan.
Tak perlu melewati rimba, tapi sulur-sulur penjerat menarik kita keluar dari jalan. Siang berganti malam, dan bulan hanya membisu. Selalu kita bertanya, tak adakah cara untuk memutarbalikan waktu? Membalikan semuanya kembali ke waktu dunia terang benderang yang selama ini kita singgahi. Sekali ini saja, walaupun akan berakhir juga, sekali saja.
pit pat pit pat
kita tak pernah tahu apa kata rintik yang jatuh
apa kembali ke bumi membuat mereka berbunga
atau merintih kesepian
seperti kita tak pernah tahu apa meski di bawah hujan ini
perasaan yang tersisa berbeda atau serupa
seperti kita tidak pernah tahu apa di bawah hujan yang sama
kita memikirkan hal yang satu
hidup sekompleks irama tik-tik di luar
suara rintik yang temponya selalu berganti
naik turun seperti langkah
katanya hujan bukan sekedar tetesan air
seperti jantung yang tidak sesederhana debaran
atau mimpi yang bukan sekedar menunggu pagi
sayangnya hidupku sederhana
semudah bisa berada di sisimu
sementara kamu bertualang
Jerami dan kerikil punya satu kesamaan. Seperti langit dan laut yang tak serupa tapi saru.
Rajaku tinggal di atlantis, tempat yang tak bisa dicapai oleh bukan duyung. Kami tak melihat laut apalagi samudera, tapi kami memimpikan duyung.
Padahal berbeda dengannya, yang kami tak pernah bisa jadi mutiara.
Karena tampaknya bumi ini masih akan berputar, sekalipun katamu biarlah masa depan yang menentukan. Katamu takdir dan nasib sudah digariskan dan untuk apa melakukan sesuatu yang bisa jadi sia-sia.
Siapa yang menentukan apa yang sia-sia? Ratu persia itu juga, katanya sia-sia, tapi tiap fajar datang ia memperpanjang hidupnya satu malam lagi.
rupamu ada
seperti di faham yang berbeda
tekad sama lamunan serupa
gerak sandiwara dalam cerita kolosal
lalu akhir zaman tampak menepi
kami pulang
(karena kadang bukan yang tersurat yang penting)
layang-layang,
terbang tinggi menghiasi langitku
kadang rasanya sepi, hanya bisa melihat dari kejauhan
karena kamu tinggi, tinggi (tinggi)
tapi aku di sini, tak punya sayap
tapi tak ada yang salah
selama kamu masih mewarnai langitku
ada kata yang tak pernah sampai
ada suara yang tak bisa didengar
kata orang cinta itu harus dilepas
seperti memotong tali layangan kalau ia terlampau tinggi
biar kamu terbang sampai jauh
sesuka hatimu (bersama doa dariku)
karena menarikmu sampai jatuh bukan pilihan
maka aku saja yang mencari sayap
atau pesawat
atau roket
biar kelak (entah kapan) bisa ikut terbang
Kadang ada malam di mana saya ingin menangis sepuasnya. Tanpa alasan. Biar semua kesedihan yang lalu, yang sekarang, yang akan datang, mengalir semua. Kemudian saya akan menghadapi besok dengan senyum lebar dan jutaan pikiran baik.
Rupa bisa begitu bias hingga kau bertanya-tanya apa yang salah, apakah dunia ini begitu kejamnya hingga semua hal harus dinilai dengan panca indera. Kau bilang yang penting itu hati, tapi kemudian kau menolehkan kepalamu ke arah Aphrodite; dan semua orang tahu bahwa hatinya bukan yang tercantik (kau tahu dia mengutuk Medusa agar hidup dalam sepi).
Kamu melihat dunia ini seperti film hitam putih, dunia lama yang hanya pernah dilihat oleh orang dari masa lalu. Segalanya abu-abu dan kadang bisa menjadi pemandangan yang membosankan, hingga kamu akhirnya memejamkan matamu karena lelah. Pada semua hitam putih dan kelabu.
Kadang, hanya terkadang saja, muncul noda kuning atau garis biru atau semburat merah. Sebelum mereka lenyap dan dunia kembali monoton. Tapi cukup untukmu mengatakan bahwa dunia ini bisa indah, jika pelangi kembali memiliki tujuh warna.
Pada satu kesempatan (mungkin sering) ada saat ketika kita berkata, tidak ada yang mengerti. Lalu kita berjuang keras mencari satu saja titik terang, mungkin satu orang yang bisa mengerti, mungkin sesuatu yang bisa menarikmu keluar dari dunia suram di sekelilingmu, mungkin sekedar pengakuan atas eksistensimu, bahwa kita juga masih sama-sama berdiri di atas bumi ini.
Kamu bukannya rapuh, hanya katamu, hidup seperti padang ilalang yang untuk menemukan jalan kamu harus menebasnya. Barangkali ada waktu kamu merasa lelah, sehingga kita harus duduk sejenak menatap langit dan mungkin mengeluh satu dua kali, bertanya-tanya apa yang salah dan mengapa. Tapi itu bukan sesuatu yang salah kan? Selama sebelum hari berakhir kita bangkit dan kembali mencari jalan pulang.
Kita menyanyikan lagu yang sama, tentang dunia yang jauh, tempat tengah malam jadi penanda akhirnya dunia, tempat belati menentukan siapa yang bisa hidup, tempat satu jarum menghentikan waktu sampai seratus tahun, dan tempat di mana menara tinggi memisahkan kehidupan satu dengan yang lainnya.
Seorang tua renta menari-nari dan bertanya berulang-ulang, siapa namaku, siapa namaku. Dan kita menebak dari huruf a sampai z tapi ia tetap menari dan menggumamkan pertanyaan yang sama. Mungkin dia alpa karena tua, tapi ia masih sanggup memintal jerami menjadi emas.
Siapa namaku? Siapa namaku?
Lupa.
Namamu lupa.
Dia bilang dia hanya butuh sesuatu yang membuatnya ingin esok hari segera datang,
sesuatu yang membuat hidup bukan sekedar rutinitas yang dimulai dari pagi hingga malam.
Dia bilang dia bukannya tidak percaya pada takdir, tapi jika ia bisa membuat masa depan
kenapa ia harus menunggu sesuatu yang entah kapan datangnya.
Dia bilang ini bukan sekedar keinginan, kebutuhan untuk peduli dan dipedulikan,
dan suatu tempat ia bisa merasa aman.
Dia tahu kau bukan Tuhan yang bisa mengabulkan semua permohonan,
tapi manusia tidak bisa hidup sendiri.
Gema dari suara terakhir perlahan pudar, sisa dari percakapan tanpa isi yang terlupakan dengan bergantinya hari. Setiap bulan naik pertanyaan muncul, di mana kamu dan apa yang kamu pikirkan dan apa dunia ini harus selalu menjadi tempat yang sepi? Aku mencari jawaban seperti kamu mencari kebenaran. Keduanya sama-sama sesuatu yang bisa jadi tidak ingin kita terima.
Ratusan kata akhirnya hanya jadi gurauan ketika makna tak pernah sampai, meragu dan hanya berharap pada waktu seolah hidup seperti kabut yang kalau ditunggu akan menghilang dengan sendirinya. Hidup terlalu singkat katanya, terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menunggu. Kalau bintang enggan bersinar mari kita nyalakan ribuan lentera di langit, kalau kapal enggan berlabuh mari kita tarik ia sampai ke tepi. Karena sabar bukan berarti menunggu nasib, tapi berjuang keras dan menerima kegagalan yang mungkin sampai.
Di kota itu kita berhenti sejenak, menatap jendela yang tinggal lubang menganga, pintu yang tak pernah tertutup, dan kegelapan yang datang ketika matahari bersembunyi. Seluruh tempat diselimuti bayangan, dan cahaya yang ada hanya berasal dari bintang yang berpendar nun juh di sana. Seperti ilusi tentang negeri di tempat jauh, di mana dunia bukan sekedar hitam dan sepi.
Warna warni raib, dan tanganmu menggapai meminta pertolongan. Dalam dunia bisu ini, siapa yang bisa mendengarmu? Lalu kau menangis, tapi dunia yang buta ini tak pernah melihatmu.
Terkadang dunia bisa menjadi tempat yang buruk rupa, sangat menyedihkan sampai kita jadi bertanya-tanya apakah hidup itu sebuah anugrah atau justru malapetaka. Tapi kita tetap percaya pada esok hari, bahwa mungkin ada sesuatu yang baik dibawa oleh matahari terbit. Di ujung hari juga kita akan bertanya-tanya apakah percaya adalah hal yang baik, ketika kita melambungkan harapan setinggi langit untuk kemudian dibanting hingga luluh lantak. Hingga hanya tersisa puing...
Yang kemudian kita susun satu persatu agar kembali menjadi satu yang utuh. Namun porselen yang rusak tak akan bisa kembali sempurna seperti semula tak peduli sekuat apa perekat yang ada. Bekas retakannya masih ada, dan kembali bertambah setiap pagi ketika yang ada hanya puing. Semakin banyak puing, semakin banyak, hingga akhirnya tinggal debu.
Dan tiada.
Dari sepuluh angka yang ada, kami memintal dua dan lima, mengukir angka satu dan tujuh, melukis tiga dan empat dengan warna pelangi, dan memaknai sisanya dengan doa. Lalu di awal pagi ketika matahari terbit, selagi berharap, doa bersinggungan. Apapun yang terjadi, semoga hari ini juga Tuhan membiarkanmu berseri.
Lebih dari setahun yang lalu, pernah terlintas bahwa kata 'kita' mungkin layak dicoba. Entah dari mana, tiba-tiba saja kita saling mengerti. Seperti angin lalu, ia datang secepat ia pergi.
Kata Plato, awalnya manusia diciptakan dengan empat tangan, empat kaki, dan dua wajah. Namun karena manusia terlampau kuat, para dewa khawatir dan akhirnya Zeus memisahkan manusia menjadi dua, dengan dua tangan dua kaki, dan satu wajah seperti sekarang. Yang satu selamanya akan selalu mencari pasangannya yang hilang. Soulmate, belahan jiwa... kata Plato.
Katanya jodoh di tangan Tuhan, sudah digariskan.
Dan aku jadi bertanya-tanya apakah kita jodoh. Kalau bukan, kenapa setiap kita berada di tempat yang sama rasanya gravitasi selalu berat; sampai aku ingin menarikmu dan bertanya apakah cuma aku saja yang merasa bahwa mungkin teori Plato tidak sepenuhnya salah.
Tapi aku tidak melakukan apa-apa, berupaya terlihat baik-baik saja meskipun gravitasi menarikku ke arahmu. Dan kita kembali hanya dua orang yang kebetulan berada di tempat yang sama. Meskipun diam-diam aku bertanya-tanya, apakah angin hanya sekedar angin, atau itu isyarat dari Tuhan bahwa mungkin kita seharusnya menghapus jarak.
Seperti asap rokokmu,
yang memenuhi ruangan seperti
udara memenuhi balon,
dengan senyum lebar
bak bocah.
Seperti asap rokokmu,
yang menyisakan bau abu di kemejamu,
dan kalimat pendek,
"kamu tak berkata"
seakan dunia akan memaafkanmu
hanya dengan melihat wajahmu.
Entah dengan dunia,
katanya dia enggan memaafkan,
tapi aku bisa,
seperti aku mentolerir bau asap
dan sekotak rokok yang ada di atas mejamu.
karena dalam sebuah kompetisi pasti ada pihak yang menang dan kalah,
karena dalam hidup selalu ada yang di atas dan yang di bawah,
maka menginginkan opsi terbaik untuk semua orang adalah
sesuatu yang mustahil,
jadi cukup dirimu saja,
selama kamu tetap tertawa seakan bintang selalu ada,
dan bumi berputar seperti biasa.
karena dunia memang kadang tidak adil,
tapi keadilan hanyalah konsep ketika semuanya benar,
dan benar-salah tidak pernah memiiki garis pembatas.
jadi cukup dirimu saja.
Lacrimosa,
yang membuatmu beku dan kelu,
yang menghalangi matahari menyinari negerimu,
yang menyisakan pasir, banyak pasir,
sisa dari tulang yang mengering.
Sudah hampir setahun yang lalu (tepatnya 357 hari, bukannya aku menghitung atau apa) sejak malam itu (kamu masih ingat?) ketika bisa dibilang itu pertama kalinya kita mulai bicara mengenai dunia kita. Tentang langit, bintang, dunia, dan cinta. Setahun memang waktu yang lama dan cukup untuk jadi pelupa. Tapi aku ingat kamu pernah berkata untuk menyimpan semua memori yang terlewat dalam sebuah kotak agar kita tidak pernah lupa (entah kamu mengunci kotaknya atau sudah membuangnya).
Aku pernah menyerahkan surat padamu (seperti di komik-komik remaja itu), bersama dengan cokelat dan ditulis di atas kertas merah hati dan kalau orang lihat mungkin mereka akan mengira itu sebuah surat cinta (mungkin memang benar). Seperti merayakan Valentine, yang katanya kamu rayakan bersama orang lain. Kupikir lucu bahwa semuanya terjadi seperti drama. Tentu kamu tidak melihat ketika kamu berbalik pergi, pada saat itu juga aku mulai menangis.Kamu memang tidak pernah melihat ke belakang, dari dulu sampai sekarang.
Dalam surat itu, aku menuliskan semua harapanku untuk kita. Pada saat itu tampaknya itu ide yang bagus, karena mungkin aku ingin mencapai semuanya bersama kamu. Hari kita bisa menjadi superman dan supergirl yang menyelamatkan dunia bersama-sama. Tapi dunia selalu berputar seenaknya sendiri, membuatku mengutuk sekaligus tersenyum, karena ada hari kita kembali menjadi Orpheus dan Eurydice. Hari-hari itu membuatku lupa pada surat itu. Surat cinta, yang seharusnya membuatmu jadi sahabatku, dan aku menjadi sahabatmu.
Semuanya menjadi abu, mungkin kamu sudah membakarnya (atau lebih mudah lagi, membuangnya ke tempat sampah di dapur). Merah menjadi hitam, dan seperti biasa kamu enggan menoleh ke belakang. Meskipun kebanyakan salahku dan kata-kataku yang lancang, tapi aku hanya berharap kamu mau membantuku mengumpulkan puing. Since you're supposed to be my friend, my bestfriend even.
Waktu kelas 4 SD, saya pernah berharap suatu pagi, sebelum saya berangkat sekolah, akan ada burung hantu yang datang untuk mengantarkan surat dari sekolah jauh di benua seberang. Tapi tentu saja surat itu tidak pernah datang. Mungkin itu sebabnya saya berhenti percaya pada keajaiban.
Ia bukannya takut pada kematian, hanya takut dilupa.
Itu sebabnya ia mengukir inisialnya di awan
dan menuliskan namanya dengan cahaya senja.
Setidaknya selama matahari masih di langit,
ia juga masih ada.
Nona, mungkin kamu seharusnya membuat boneka voodoo daripada mengutuk seharian. Karena kami yang mendengarnya tak bisa sihir, dan kata hanyalah deretan huruf kalau tidak disampaikan pada orang yang benar. Harusnya kamu yang paling tahu betapa kecilnya arti dari kata, bukankah kamu yang terus mengeluh? Kamu tak pernah menganggap serius pengetahuan umum itu, padahal orang sering bilang kalau kaum mereka memang gemar mengatakan hal yang tidak benar.
Saya pikir sebaiknya memang kita punya kendali atas seluruh kepala kita, sehingga kita bisa memilih apa yang ingin kita ingat dan apa yang ingin kita lupa. Tidak semua orang ingin detail kehidupannya terekam, saya kira. Alangkah baiknya kalau kita bisa menyisakan momentum yang baik saja, mungkin saat ketika kita begitu dalam cinta hingga kita masih merindukan satu sama lain meskipun kita berdiri berhadapan. Sementara malam-malam yang kita habiskan dalam kesendirian, menangisi takdir dan bertanya kenapa, seandainya kita bisa lupa saja...
Kadang kupikir mungkin kita sama-sama rabun, tidak bisa melihat dunia dengan jelas, karena itu kita bisa membayangkan dunia sebagai tempat yang indah. Bukit hijau dan cahaya keemasan dan pesisir yang sepi dan banyak banyak kunang-kunang. Segala sesuatu yang bercahaya itu indah, mungkin karena kamu bilang sedang mencari sebuah lentera. Tapi kita bukannya tinggal dalam kegelapan, hanya menolak untuk membuka mata.
Suatu saat kita akan sama-sama terjatuh, buta, kemudian kita tersesat dan bumi tempat kita bermain menjadi satu labirin yang diciptakan memang untuk mengurung. Dan sampai akhir mungkin masih ada bisikan 'seandainya kalau saja', tapi yang kita gumamkan hanya sebuah lagu. Musik tentang suatu tempat entah di mana. Jauh.
Saya ingat pedihnya, ketika kamu memukul tembok dan yang bisa saya lakukan hanya diam dan melihat dari samping. Dunia menjadi hitam putih dan sesungguhnya saya lupa cara bernafas. Semuanya buram dan yang terdengar hanya tik-tok-tik-tok dari jam di atas kepalamu. 'Semua akan baik-baik saja', seperti mantra kita mengulang-ulang kalimat yang sama. Tapi saya tahu, seperti kamu tahu saat itu juga, bahwa tidak ada yang baik-baik saja. Karena ada yang memang tercipta untuk hancur. Seperti kamu dan saya.
Jika disebut dalam berandai-andai, kalau saja memiliki arti harapan, andai saja seperti mimpi yang selalu muluk. Karena kenyataan tak bisa berubah hanya dengan kata, karena hujan tak bisa berhenti hanya dengan tatapan, dan karena jarum waktu tak punya belas kasih.
Aku melihatmu dalam mimpiku semalam, ketika semua bermain dalam bisu dan yang bisa kulihat hanyalah bayangan semu di cermin. Kita duduk bersebelahan dengan kata-kata yang tak pernah keluar seperti semua orang lain yang ikut berperan dalam drama tanpa suara ini. Tapi tidak apa-apa, semua baik-baik saja; itu kata-kata dalam isyarat yang kamu berikan. Sampai aku membuka mata dan yang tersisa hanya tangan yang kosong.
Tuhan, bolehkah aku menangis bukan karenamu?
Waktu agaknya menipu, karena nyatanya satuan hari tak sama dengan satuan umur. Kemudian kita mengucapkan selamat tinggal; pada masa lalu, debu abu, dan semua hal yang fana. Kalau mau menangis, sekarang saatnya. Sebelum kereta terakhir berangkat dan yang tersisa hanya debu abu dan nada terakhir dari tiupan peluit.
Malam ini tidak hujan, tapi mungkin kamu bisa dengar rintiknya. Laut kala itu tenang, tapi sekarang pun mungkin kamu masih dengar deru angin dan suara ombak yang menghantam pesisir. Kita menghentikan jarum yang berputar, seolah sosok yang lemah ini bisa berkuasa di atas waktu, mendulang kata yang terlanjur diukir.
Barangkali saja, malam ini hujan.
Atau setidaknya besok.
Atau mungkin besoknya lagi.
Kebetulan saja dua garis itu memiliki titik potong, meskipun ujungnya sama-sama tidak kelihatan dan eksponensial ke arah yang berlawanan. Hidup memang tidak akan pernah bisa digambarkan dalam ekuasi sederhana, karena bahkan persamaan garis yang paling rumit pun tidak akan bisa menjelaskan kenapa dua garis yang tampak berbeda bisa begitu serupa.
Dari 1000 janji, kita menuai kata-kata. Seakan menara yang kita bangun bisa mencapai matahari kalau kita letakan batu satu demi satu. Tapi kita bahkan belum setengah perjalanan ketika panas sudah terlebih dahulu meruntuhkan mimpi. Entah siapa yang menyerah terlebih dahulu, tapi kemudian kita menelantarkan segalanya dan hanya meninggalkan puing. Berserakan. Tapi tidak ada yang mau melanjutkan kembali.
Dia naik takhta setelah memimpin seribu pasukan di medan perang. Panglima yang tombaknya menantang langit seperti menyatakan perang pada Atum-Ra sendiri. Kini kami memanggilnya Raja karena memang sejak beberapa tahun yang lalu dia berdaulat. Tapi dataran selalu jadi yang paling mudah bukan, yang mulia? Kelak ketika dia berhasil menaklukan langit, kami akan menyembahnya seperti Isis kepada Osiris.
Pertanyaannya selalu sama, kenapa kamu memilih kelabu? Kamu merah muda, kadang ditambah semburat kuning atau percikan biru, tapi kamu tetap merah muda. Lalu datang kelabu yang tumpah dan membuat segalanya mengabu. Tapi kamu tetap merah muda, meskipun kamu membiarkan kelabu menggenang.
Katamu kelabu itu baik.
Boleh jelaskan kenapa kamu membela abu?
Padahal kamu masih merah muda walaupun sempat mengabu.
Nostradamus, ceritakan pada kami dalamnya lautan yang perlu kami sebrangi. Kami perlu membangun kapal agar bisa sampai ke daratan harapan. Ceritakan pada kami tingginya langit dan apakah kira-kira sayap kami bisa mengantar kami ke Valhalla? Atau kalau tidak bisa, ceritakan saja apakah kampung halaman kami masih sama? Karena kami ingin pulang, tapi apa gunanya kalau semua sudah tak serupa? Karena kami ingin pulang, tapi untuk apa pulang kalau tempat kami sudah tak lagi terasa seperti rumah?
Dia, Ekalaya,
memahat berhala Dorna
karena berbeda dengan si congkak
dia hanya perlu bayang-bayang
untuk menggenggam langit
Buah apel itu membusuk
Aku menyukai ide bahwa aku memiliki dunia kecil yang sejatinya tidak bisa dimasuki oleh orang lain. Aku menerima tamu, namun hanya sampai selasar. Di sana delegasiku akan berbicara mengenai indahnya negeri kami; tentang birunya laut, manisnya jeruk, merdunya hujan, dan merahnya aurora di utara. Kadang aku akan membiarkan seorang tamu masuk, melewati gerbang Kerberos dengan cuma-cuma. Di dalam ia akan melihat bahwa di dunia ini juga ada jurang dan badai. Tapi negeriku ini sebanding dengan negeri Peter Pan. Di langitnya berterbangan ikan bersayap, di pohonnya tumbuh buah tujuh warna, dan sungainya mengalirkan lelehan cokelat susu.
Dunia kecil kami berguncang hanya karena sebuah mimpi. Mendadak kami terbangun dan dihadapkan pada kenyataan yang ternyata membawa hujan ke dunia kami. Hari ini langit di atas kami mungkin kelabu, padahal kami mengecatnya merah muda kemarin. Kami meletakan banyak bintang malam sebelumnya, tapi seperti disiram air bah mereka lari serabutan. Kami meminta matahari bersiaga, agar menyulap siang yang tak pernah berakhir, tapi ia tenggelam bersamaan dengan datangnya bayangan.
Selama satu menit ke belakang dan dua menit ke depan saya marah,
sampai saya ingat kalau sebenarnya tidak ada yang berubah,
sampai saya meyakinkan diri saya kalau saya tidak punya alasan,
sampai saya tidur nyenyak dan bisa terbangun dan menertawakan
apapun yang akan saya impikan malam ini.
Selamat tidur semuanya,
selamat tinggal April!
Saya sedang menulis sebuah lagu
Tampaknya aku sangat suka akhir
Entah antipati pada kekekalan
Ketidaksukaan pada selamanya
atau kesetiaan pada realita
tapi aku hanya bisa jatuh cinta pada sesuatu yang memiliki akhir
Hari ini si matahari mendatangi saya, dengan cengiran luar biasa lebar dan wajah bahagia seperti baru menang undian semilyar. Dia tidak membawa kabar baik, memang ekspresi defaultnya begitu. Hampir dua tahun yang lalu juga dia pernah mendatangi saya dengan ekspresi serupa, bercerita soal dunia di bawah laut dan pertempuran suku indian di seberang lautan. Saat itu saya mengangguk-angguk dan berpikir, ada juga mahluk aneh begini. Sampai sekarang saya masih takjub.
Lambat laun kita mulai alpa,
seperti orang yang mulai mendekati ajal,
meskipun tanpa uban dan kerentaan.
Bukankah impian banyak orang untuk berkata,
persetan dengan dunia,
persetan dengan prinsip,
saat ini saya bahagia,
dan saya masih ingin menggenggam kebahagiaan ini
apakah saya masuk dalam kategori banyak,
saya belum tahu.
Saya memberikan kutukan pada orang-orang di sekitar saya; barangkali buruk bagi beberapa orang, kali saja berkah bagi orang lain. Saya mengutuk mereka agar tidak melupakan saya, agar memori mereka akan saya tidak akan pernah hilang. Saya bukan penyihir limbah, tidak bisa menggerakan kastil mengelilingi dunia, tidak bisa menangkap bintang jatuh juga (nama saya juga tidak terdiri dari empat huruf dan diawali dengan huruf H), tapi kutukan saya lebih kuat dari Maleficent. Oh, saya yakin anda juga ingat sekarang, bahwa saya pernah memberitahukan sebuah rahasia pada anda. Sampai saat ini, apa rahasia itu masih anda jaga?
Di puluhan kilometer antara Bogor-Bandung, saya baru sadar bahwa saya kehilangan kunci. Ruangan tempat saya menumpukan ribuan mimpi saya tidak lagi bisa dibuka. Saya mungkin harus menunggu sampai kunci penggantinya selesai, tapi selagi menunggu, mimpi saya tersegel rapat-rapat. Apa enaknya hidup tanpa mimpi?
Saya sedang membutuhkan orang-orang dengan aura positif dan yang pertama kali terlintas di pikiran saya si matahari. Walaupun frekuensi saya melihat dia sekarang bisa cuma sekali tiap dua minggu (itu saja sudah beruntung) tapi cahayanya sangat silau sampai saya bisa buta beberapa hari.
Tapi kalau bicara tentang si matahari, jadinya tidak bisa dipisahkan dengan si titanium. Mengutip kata sebuah buku, titanium itu kuat, tahan banting, dan classy. Titanium adalah salah satu orang yang mengenal si matahari dari awal, padahal saya tidak pernah bercerita apa-apa.
Kedua-duanya luar biasa; matahari yang tak pernah terbenam dan titanium yang tahan banting. Saya ingin lebih bersinar seperti matahari dan lebih tahan banting sekuat titanium. Mungkin kalau bertemu mereka lagi saya akan meminta saran agar bisa jadi seperti mereka.
Sole, si matahari, sudah lama tidak kelihatan. Memang kami tinggal di dunia yang berbeda, jadi tidak mengherankan kalau ia jarang muncul. Tapi sekali-kali aku mengintipnya dari jendela dan dia masih bersinar dengan terang sehingga aku jadi ikut berpendar.
Heran aku, ternyata ada juga orang seperti dia. Sang pencipta pasti membentuknya dengan penuh cinta hingga ia bisa selalu terang begini. Memang kami tinggal di dunia yang berbeda, tapi ia tidak pernah enggan berbagi cahaya. Padahal sudah menahun aku mencuri sinarnya, namun ia tetap saja begini.
Kemarin saya berbicara dengan seorang teman yang memiliki pemikiran yang sama dengan saya setahun yang lalu. Topiknya mengenai manusia dan betapa sesuatu yang kompleks sebenarnya hanya terlihat seperti itu dari luar, sedangkan di dalamnya tidak lebih sulit daripada menjumlahkan dua bilangan satu digit. Saya jadi ingat ketika dunia terlihat tidak lebih sulit daripada bermain gundu, ketika saya punya sejuta pertanyaan dan dunia memberikan milyaran jawaban yang semuanya masuk akal. Barangkali saya seharusnya lebih lama berbicara dengan teman ini.
Saya kagum pada seorang yang bisa mencinta dalam diam. Memberikan dukungan tanpa syarat, peduli tanpa memaksa, dan selalu ada tanpa meminta.
Saya hanya si muram yang masih ceroboh dalam hidup. Sampai nanti juga barangkali saya akan terus melakukan kesalahan dan tak pernah menunjukkan penghargaan pada anda. Tapi dalam hati saya akan selalu kagum. Salute!
Saya tak pernah mengerti kenapa dinamai komidi putar
Di daratan tempat kami tinggal, tiap rumah dihubungkan dengan jembatan pelangi. Walaupun kami bukan leprechaun, kami menyimpan emas di ujung pelangi masing-masing. Barangkali tidak satu baskom, mungkin kadang hanya satu keping. Inilah cara kami memberikan salam, karena brankas tak selalu aman dan kami saling percaya. Tapi jangan kau ambil tanpa izin walaupun niatmu meminjamnya hanya untuk satu menit. Kami cinta emas dan hukuman bagi pencuri adalah pengasingan yang amat sangat lama.
Kami melayangkan sebuah surat kaleng
Scheherezade ajarkan kami untuk bisa bersabar,
Saya sakit. Mungkin sakit jiwa. Karena orang yang bisa terus tersenyum selagi menangis mungkin jiwanya tercabik-cabik. Atau sudah mati. Saya sakit. Katanya sih sakit jiwa. Karena katanya orang waras tidak ada yang berharap mati. Saya sakit. Sakit jiwa.
Beban kamu nggak lebih berat daripada bebanku,
hanya saja aku membawanya dengan hati
dan kamu membawanya dengan keluh.
Tapi sampai akhir kamu masih belum sadar,
kalau bukan cuma kamu saja yang berusaha keras.
Aku enggan menegurmu
meskipun kupikir kamu konyol.
Entah apakah aku terlalu baik karena
tidak ingin membuatmu merasa tidak enak,
atau terlalu bodoh karena akhirnya
jadi uring-uringan sendiri.
Tidak usah bersikap seolah peduli
kalau kamu tidak peduli.
Sumpah, saya benar-benar peduli.
Tapi saat ini saya lelah.
Seorang teman berkata bahwa kebahagiaan akan didapatkan setelah kau jatuh, dan baru ketika kau jatuh kau akan merasa bahagia. Tapi sampai kapan saya harus jatuh? Ini lubang tak berdasar dan selama apapun saya jatuh, saya tak juga mendarat di Wonderland.
Dunia ini tandus dan oase yang muncul sekali-kali dalam fatamorgana tidak akan bisa menggantikan laut yang sebenarnya.
Kami bersama-sama menyilangkan jemari dan berharap yang terbaik.
Karena para pelaut tersesat di tengah samudera.
Karena para pemimpi kehilangan arah.
Karena rasi kehilangan inti.
Karena dunia kehilangan pusat revolusinya.
Dan karena langit tak lagi indah.
Kami pernah percaya pada bintang jatuh. Mengimaninya seperti kepastian bahwa matahari akan terbit dari timur, ia akan kembali bersinar setelah menuntaskan misinya.
Namun cahayanya tak pernah seterang dahulu. Atau mungkin itu hanya kepada kami yang membiarkannya jatuh sendiri.
Kami pernah punya bintang yang bersinar paling terang di langit barat. Malam semakin panjang dan ia tetap menjadi pusat dari revolusi dunia Kami percaya pada bintang seperti kami percaya pada malaikat.
Lalu ia jatuh.
Dan kami memanjatkan doa.
Seperti orang suci kami mengangkat tangan dan memohon. Menggumamkan permintaan yang barangkali menorehkan luka.
Katanya, bintang jatuh akan mengabulkan permintaan.
Ketika saya bilang ingin mati, seorang teman marah.
Katanya topik kematian bukan guyonan yang bisa disampaikan dengan mudah.
Tapi siapa bilang itu guyon, barangkali itu serius.
Tapi siapa yang bisa percaya?
Bukan kamu atau dia atau aku.
Aku tidak mempertanyakan alasan, karena rasanya seperti mempertanyakan takdir dan bukankah manusia itu hanya satu sosok kecil di tengah luasnya bimasakti? Siapalah aku (hanya orang yang tersesat dalam ekuasi-mu).
#001
Saya kangen masa ketika saya bisa ngobrol hal yang paling nggak penting di tengah malam. Masa ketika saya bisa menghubungi kamu tanpa perlu berpikir banyak-banyak, tanpa perlu ragu-ragu karena takut kalah kehadiran saya nggak diinginkan.
#002
Saya kangen masa ketika saya bisa datang ke sebelah kamu dengan natural. Karena saya tahu kamu nggak akan keberatan dan karena bersama kamu itu menyenangkan.
#003
Saya kangen masa di mana saya bisa ngasih tahu semua kekhawatiran saya. Ketika saya nggak perlu menderita sendirian karena saya tahu kamu sepeduli itu.
#004
Saya kangen masa ketika saya bisa bercerita tentang mimpi saya. Karena katanya Pisces itu paling imajinatif, dan nyatanya saya memang punya banyak mimpi itu untuk diceritakan. Dan saya juga ingat mimpi-mimpi kamu. Ada waktunya saya berpikir kalau mimpi-mimpi itu bisa kita capai bersama.
#005
Saya kangen diri saya yang nggak perlu meyakinkan diri sendiri bahwa hidup itu indah, karena pada waktu itu hidup itu memang indah.
#006
Saya bosan menangis.
#007
Saya kangen jadi bagian dari hidup kamu.
Aku menghitung kadar hidupku dalam sebuah toples, satu
butiran merah muda untuk senyum, dan satu butiran
biru untuk air mata. Akhir-akhir ini hanya warna biru yang kumasukan, sampai
kupikir seharusnya toples itu tak lagi bisa
menampung butir.
Tapi tiap kali kuangkat toples itu, ternyata
isinya masih setengah penuh. Dan warnanya
masih didominasi merah muda. Tampaknya setengah tahun merah muda,
masih kalah dibandingkan pilu tiga setengah bulan.
Bolehkah kami hancur,
luruh sampai tinggal gaung,
karena tampaknya untuk saat ini
hanya itu yang bisa kami lakukan.
Masih tak bolehkah kami hancur,
lebur sampai tinggal gaung,
karena tampaknya kalau bertahan hidup
kami hanya jadi selongsong kosong
yang lupa warna.
Kenapa kami tak boleh hancur,
lenyap sampai tinggal ingatan,
kalau kau bahkan tidak memberi alasan agar kami bertahan?
Aku berharap tak pernah jatuh kalau tahu kelamnya,
aku berharap lupa setelah tahu gelapnya.
Tapi aku tahu terangnya meskipun kini padam,
meskipun sumbunya sudah habis terbakar
dan yang tersisa hanya malam yang panjang.
siapa yang bilang hitam itu hitam, putih itu putih.
kalau aku ingin memanggil kuning merah siapa yang bisa bilang itu salah?
hijau mungkin merasa biru,
merah mungkin merasa kelabu,
tapi orang akan memanggil saya buta jika memanggil merah kelabu.
Meskipun apa yang saya tuliskan buat kamu sungguh-sungguh,
saya masih mempertimbangkan pilihan untuk kembali.
Kalau saja pilihan itu masih ada.
Saya memang egois,
tapi kata seorang teman,
menginginkan kebahagiaan itu manusiawi.
Kalau kebahagiaan itu saya dapatkan bersama kamu,
apa itu salah?
Orang bilang saya kuat, tapi ada kalanya saya ingin lari. Karena ketidakpastian itu mengerikan, karena sesungguhnya saya tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang. Sekalipun saya terus berkata saya baik-baik saja, tapi malam ini saja, saya rindu kamu. Meskipun besok mungkin saya akan berpura-pura semua ini tidak pernah terjadi.
Katamu tidak ada yang lebih sulit daripada melupakan, karena itu kita tidak perlu melupakan, hanya memindahkan kenangan dalam wadah yang lain. Katamu apa pun yang terjadi kamu akan selalu ada, karena kita sama-sama janji tidak perlu ada cinta yang hilang.
Tapi mungkin semua hanya kalimat manis untuk mengusirku pergi. Pelan-pelan, supaya tidak ada rasa bersalah. Kalau kamu sungguh-sungguh, seharusnya bukan aku saja yang merasa kesepian. Sunyi sampai mengutuk nasib dan menangis melolong seperti serigala. Nyatanya kamu sudah tidak mendengar suaraku lagi. Akhirnya aku satu-satunya yang berjalan mendaki tangga, sementara kamu mengambil alih elevator.
Mungkin sebenarnya aku hanya butuh sebuah isyarat, tidak perlu diteriakan, bahwa aku tidak sendirian menjalani semua ini. Tolong bilang padaku kalau kamu masih mendengar suaraku...
Lalu di akhir ceritanya kau jadi bertanya-tanya, mengapa kau melakukan, kita melakukan, sesuatu yang jelas sia-sia. Momen adalah sesuatu yang tidak terjadi dua kali, dan berharap mengulanginya adalah mimpi manusia yang mustahil diwujudkan. Karena kalau Kala bisa diputar, maka tidak akan ada yang namanya penyesalan. Karena Kala abadi dan tegar, ia enggan berhenti apalagi berbalik.
Kau, tuan, barangkali salah persepsi tentangku. Kau bisa mengaduk-aduk isi kepalaku dan yang kau temukan hanyalah keramahan, bukan obsesi. Kau, tuan, barangkali menilai dirimu sendiri terlalu tinggi, delusi yang membutakanmu, hingga kau sering kali salah menafsir.
Mungkin menurutmu kau setinggi bintang, tapi tak berarti semua orang rela bersusah payah menggapaimu. Obsesif, mungkin salah satu sifatku, tapi bukankah agak terlalu sombong untukmu merasa seolah aku mengejarmu seperti musafir mencari oasis?
(karena tidak ada fungsi repost di blogger dan setahun berlalu sudah)
I am Vindicated
I am selfish
I am wrong
I am right
I swear I'm right
I swear I knew it all along
(Vindicated, Dashboard Confessional)
Hal yang paling mengerikan mungkin adalah
meskipun ketika ada saatnya kau berbohong seburuk apapun
aku tetap akan percaya
seperti orang buta yang mengikuti cahaya pertama yang dilihatnya
Sampai saat ini, kau tak pernah mempertanyakan takdir,
Sampai saat ini, bagimu hidup adalah kumpulan pilihan.
Sampai saat ini, kau tak pernah menyalahkan takdir.
Sampai saat ini, kau masih merasa memilih.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini, kau masih takut mengatakan 'kalau saja'.
Sampai saat ini, kau masih takut akan meragukan takdir.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini.
Sampai saat ini—
Selamat sore Jenderal,
ternyata aku yang mengaku ekstrovert lebih bisa menulis daripada berucap. Atau mungkin karena lewat tulisan baru aku bisa berpikir.
Aku masih ingin mengurungmu, meskipun kau bosan dan marah, apa kamu mau sabar menunggu sampai tiba waktunya aku bisa melepasmu dengan sukarela? Meskipun kamu bisa bilang bahwa banyak orang yang lebih baik, tolong lihat dari posisiku yang mengetahui meskipun kamu yang kelima dari enam, aku cuma pernah milih kamu. Sebegitu spesialnya kamu. Tapi karena itu juga, sekarang aku bersamaan dengan proposalku, minta kamu untuk tetap tinggal.
Mungkin untuk sekarang ini aku belum bisa menjanjikan apa yang kamu harapkan, karena pada akhirnya di akhir hari aku mengulang kejadian kemarin-kemarin. Aku menyalahkanmu untuk kali ini, karena kalimatmu di akhir ternyata berdampak lebih besar daripada yang aku kira. Jadi boleh aku berharap, janjimu untuk menunggu akan berlaku?
Selepas bulan enam,
riak berubah menjadi gelembung.
Selepas bulan dua belas,
langit bergemuruh tapi tak pernah menangis.
Selepas bulan dua,
dunia kembali berputar namun
Indira tak pernah mengikuti rotasi.
Aku menempatkanmu berdampingan dengan Tuhan, karena katanya itu yang dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta. Tapi pada dasarnya yang namanya juara hanya satu, kemudian kita dihadapkan pada pilihan antara kebenaran dan kebetulan.
Jadi kali ini aku mendorongmu jauh dari singgasana, karena jika burung yang baru menetas saja bisa terbang, maka seharusnya kau bisa meluncur ke luar angkasa. Tidak perlu melihat ke belakang. Karena kita sama-sama tahu apa yang baik, karena kita sama-sama mengerti siapa juaranya.
Aku pernah menempatkanmu berdampingan dengan Tuhan,
aku pernah berdiri di sisi Tuhan,
tapi kini sudah saatnya kita turun tahta.