I will forget you

#137/47 - 그럴 겁니다… 잊을 겁니다 (C.N. Blue)


"I will forget you.
Starting today, I don’t know you.
I have never seen you.
We've never even walked pass eachother..."


Kau bersenandung pelan, lebih fokus kepada kata-kata dalam lirik lagu itu daripada musik yang terdengar dari headphone merah mudamu. Bahkan ketika kau mengucapkannya dengan penuh resolusi, kau masih tak yakin dapat melakukannya. Melupakan, bukan sesuatu yang mudah untuk kau lakukan. Terutama ketika yang ingin kau lupakan, terlanjur menempati bagian besar di hatimu. Dan sejujurnya, kau masih belum ingin melupakannya. Sekalipun yang kau dapat karena sifat keras kepalamu itu hanya rasa sakit yang sama sekali tidak berkurang tiap harinya.

Karena kau selalu menyukai orang itu, mulai dari caranya menatapmu dengan pandangannya yang teduh sampai suara tawanya yang rendah dan selalu membuatmu tersenyum ketika mendengarnya. Kau suka mendengarnya bernyanyi, lagu-lagu sendu yang begitu mempengaruhi perasaanmu kala mendengarnya. Padahal sejak lama kau menyadari, kerap kali ia berada di sampingmu, hatinya tak pernah hadir sepenuhnya. Tapi kau berpura-pura tidak tahu, meskipun tiap kali juga, kau merasakan sakit di ulu hatimu ketika kau mendengarkan nada-nada penuh kasih yang ia nyanyikan dan tahu bahwa tiap untaian nada ditujukan untuk orang lain. Dan tetap saja kau meraih tangannya, memanfaatkan kebaikan dirinya yang tak mau menyakiti hatimu dan mengurungnya dalam penjara rasa bersalah.

Karena dia orang yang teramat baik, sedang kau orang jahat. Dan kau memanfaatkan tiap kebaikannya itu. Karena kau enggan kehilangannya.



"When love goes away, another love comes again.
It definitely will.
Even if tears fall now, I will smile a little later..."

Kau memutar lagu yang sama berulang-ulang di iPod-mu, tak bisa tidak merasakan betapa lagu itu menggambarkan dirimu. Kau menyandarkan kepalamu ke dinding di belakangmu, kakimu lemas dan perlahan kau membiarkan tubuhmu jatuh ke lantai. Kau berusaha untuk tidak merasa apa-apa, berulang-ulang meyakinkan dirimu bahwa semua baik-baik saja. Kau menarik nafas dalam-dalam, terus menerus berkata dalam hati bahwa kau tidak membutuhkannya. Bahwa kau bisa melupakannya. Tapi mengingatnya barang sekejap saja langsung membuat keteguhanmu hancur seketika.

'Let's not meet again.'

Kalimat itu terus berdering di telingamu. Meski kau sudah tahu, meski kau sudah menantikan kapan orang itu akan mengucapkan selamat tinggal sejak kau melihat matanya yang selalu mencari sosok seorang yang bukan kau. Kau masih berusaha untuk tegar, karena kau sudah bersiap untuk hari ini. Kau seharusnya sudah siap. Tapi kala itu, kau kembali mengingat bagaimana lengannya merangkul bahumu. Kau kembali teringat pada selera humornya yang unik, yang selalu membuatnya ditertawakan tapi justru membuatmu tertarik padanya. Kau teringat suaranya yang tenang, menemanimu saat kau harus melewati malam bergulat dengan rumus-rumus yang menurutmu absurd. Kau teringat senyumnya yang kekanakan dan bagaimana ia seringkali membuat ekspresi aneh yang bahkan tidak disadari olehnya.

Kau tak ingat sejak kapan air mata mengalir dan kapan kau membenamkan wajahmu ke lengan, seakan berharap kau bisa bersembunyi dari dunia. Kau tak ingat bagaimana kau bisa menghabiskan malam itu; yang pasti, saat telepon genggammu berbunyi, air matamu sudah mengering dan kau menyanggupkan dirimu untuk memulai hari yang baru. Tanpanya.


Bayanganmu di cermin tampak mengerikan. Kau jadi bertanya-tanya apa memang tampangmu seburuk itu. Kau menggelengkan kepala dan membasuh wajahmu dengan air, berupaya menghilangkan sisa-sisa kesedihan yang tampak jelas. Kau menatap dirimu yang lain, berusaha menggerakan bibirmu membentuk senyum. Tapi yang ada di wajahmu hanyalah senyum terpaksa yang sama sekali jauh dari bahagia. Membuatmu gusar setengah mati hingga rasanya ingin mempraktikan bela dirimu kepada bayanganmu. Meskpun kau cepat menyadari itu ide yang konyol dan cepat-cepat keluar dari kamar mandi sebelum kau benar-benar melakukannya.

Kau mengambil kotak sereal dan susu vanilla dingin dari lemari es, bersiap untuk rutinitas harian yang semakin lama terasa semakin hampa. Ketika itu telepon genggammu berbunyi lagi, dan kau tidak bisa menghalangi dirimu untuk sedikit berharap bahwa ia berusaha menghubungimu. Dan kau harus menelan kekecewaan ketika nama yang tertera di layar bukan miliknya.



"It’s not difficult.
I will forget everything after today.
I’m just getting used to my changed life..."

Ketika kebetulan caffe tempatmu bekerja memutar lagu itu, kau merasa bahwa kebetulan memang sangat menyebalkan. Kau harus menahan diri untuk tidak memasang headphonemu dan menyetel volume iPod-mu keras-keras sepanjang shift-mu. Dan ketika hari itu gerombolan bocah SMA yang biasa mengganggumu datang berkunjung, kau benar-benar merasa bahwa takdir memusuhimu. Karena harimu tidak mungkin bisa lebih buruk daripada ini.

Helaan nafas, entah untuk yang keberapa kali hari itu. Kau hanya bisa menyunggingkan senyum terpaksa, tamu adalah raja, kata bosmu setiap pagi. Kau melihat seisi ruangan itu, berhati-hati agar tidak mendaratkan pandanganmu ke gerombolan bocah SMA yang tadi. Dan pandanganmu berhenti di sosok seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan, dengan alis mengernyit tanda tak suka di wajahnya. Kau melebarkan matamu, tanda tidak mengerti yang terkadang justru membuat orang lain mencubit pipimu. Terus terang kau penasaran kenapa adik kelasmu itu terlihat siap menerkam orang lain, jadi kau menepuk bahu temanmu dan memintanya menggantikanmu sebentar di kasir.

Kau mendatanginya dengan dua gelas cappucino panas di tanganmu. Yang satu dengan tambahan krim dan gula, seperti yang kau ketahui disukai oleh orang itu. Ia terlihat sedikit terkejut ketika kau meletakan gelas-gelas itu di atas meja dan duduk di depannya. Kau hanya tersenyum dan mengomentari selera minum pemuda itu. Ia duduk di depanmu begini, seperti yang biasa kau lakukan dengan dengan orang itu. Kau jadi merasa kesepian lagi, matamu tanpa sadar bergerak ke arah pintu masuk. Harapan bisu bahwa orang itu akan muncul dan menyapamu, seperti yang biasa ia lakukan dulu. Tanpa sadar kau mengepalkan tanganmu, rasa tidak ingin menerima kembali lagi menerpa.

Kau merasakan seseorang menyentuh dahimu, dan kemudian mengacak-acak rambutmu. Membuatmu sedikit kaget dan memajukan bibirmu ketika kau menyadari orang yang mengusap-usap kepalamu itu adalah adik kelasmu itu. Kau menyipitkan matamu, berpikir bahwa bocah di depanmu ini sangat tidak sopan. Ditambah lagi dengan ejekan yang mengikuti tindakannya itu. Kau memukul lengannya, pura-pura marah. Tapi kau tidak bisa menyembunyikan gelak tawa yang mengikuti sesudahnya. Dan kau sedikit merasa senang, karena setidaknya kau bisa melihat bahwa hidupmu tidak berakhir hanya karena seseorang menginggalkanmu. Meskipun ketika kau melirik ke arah pintu sekali lagi, kau masih tetap berharap bahwa orang itu akan muncul. Harapanmu, seberapapun mustahilnya, masih tetap tidak ingin pergi.




'I like you.'

Kau ingin melupakan orang itu, sungguh. Dan kau benar-benar berharap kau bisa membalas pernyataan ini. Sesaat kau tergoda untuk meraih tangannya dan menyelipkan jemarimu di sela-sela jemarinya yang lebih besar, sesaat kau tergoda untuk menggunakannya sebagai tameng dari segala kesedihanmu. Namun kau tahu kau tidak bisa. Kau tidak ingin memanfaatkannya seperti itu, memberinya harapan kosong sementara hatimu tetap mencari-cari sosok orang yang lain. Jadi kau hanya bisa menundukan kepalamu dan menggelengkan kepalamu. Mengucapkan 'maaf' dengan suara lirih.


'I like you, I really like you.'

Ketika untuk kesekian kalinya ia mengatakan hal itu kepadamu, kau tidak tahu harus merasa sedih atau tersanjung. Kau mengagumi perasaannya, tekadnya, dan keberaniannya meski tahu kau masih tetap akan menolaknya. Kau berandai-andai, kalau saja dari awal kau memberikan hatimu padanya dan bukan orang itu, mungkin hidupmu akan lebih baik. Karena kau tahu dia adalah orang yang teramat baik, hingga bahkan terasa surreal, karena seharusnya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi dia seakan melanggar aturan itu dan kau tidak bisa melihat kekurangannya barang sedikit pun. Dan kau bertanya-tanya, mengapa meskipun mengetahui hal itu, kau masih tetap tidak bisa membalas perasaannya.


'Really, just forget about that jerk and be mine.'

Kali lain kau berpikir seharusnya kau merasa tersanjung mendengarkan kata-kata itu terucap dalam suara tenornya. Kau menatap matanya, merasa bersyukur tidak membawa apa-apa di tanganmu, karena kau pasti menjatuhkannya ketika mendengar kalimat itu. Kau tahu kau seharusnya merasa senang bahwa ada seseorang yang begitu peduli padamu, selalu ada untukmu. Tapi kau justru merasa kesal, karena dia menyebut orang itu dengan sebutan begitu. Dan kau menyadari, bahwa hingga saat ini pun kau masih belum bisa mengusir bayangan orang itu dari kepalamu. Kau merasa menyesal ketika kau bicara padanya dengan nada tinggi, menyebutnya egois karena memaksakan perasaannya padamu.

Tapi dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipimu dan mengecup lembut dahimu. Kebaikannya itu membuatmu ingin menangis, mengutuk hatimu yang masih tidak bisa membalas perasaannya.




"Love is always like this.
It fades away after some time.
Can’t even remember it."

Kau tidak bisa mengenyahkan bayangan orang itu dari kehidupanmu. Wajahnya seakan muncul dari tiap hal kecil yang kau lihat tiap hari. Kau melewati toko es krim dan teringat bagaimana ia tidak pernah mau makan sesuatu yang dingin namun tetap membelikanmu kerap kali karena ingat bahwa kau amat menyukai es krim stroberi. Kau melihat pengamen di jalan dan teringat bahwa orang itu amat suka menyanyi, dan dia tidak pernah menolak ketika kau memintanya menyanyikan lagu kalian berdua. Kau melihat toko musik dan teringat bagaimana jari-jarinya menari lincah di atas piano dan bagaimana ia mengiringi permainan gitarmu dengan suaranya yang lembut. Meski sudah hitungan bulan kalian tidak bertemu, meski sudah hitungan bulan sejak kalian berpisah, tapi ia masih menginvasi hari-harimu dan kau muak dengan hal itu.

Tapi kau bersyukur, karena tiap kali juga, selalu ada lengan yang merangkul bahumu, selalu ada tangan yang mengusap kepalamu. Sebenarnya kau takut akan ada karma yang mengikutimu setelah ini karena kau memanfaatkan rasa sayang orang itu padamu dan menjadikannya sebagai tameng. Tapi ketika kau mengatakan kekhawatiranmu itu padanya, pemuda yang lebih muda darimu itu memberitahumu dengan wajah serius bahwa ia tidak keberatan dimanfaatkan asalkan itu olehmu.



Ia selalu berada disisimu, tiap harinya cerita dalam hidupmu kini berkisar antara ia begini, ia begitu. Kini bahkan di dalam kamarmu terdapat jejak kehadirannya, foto kalian berdua yang dibingkai dalam pigura di atas meja belajarmu, kelinci putih besar yang dibelikannya beberapa hari yang lalu, jaket yang dipinjamkannya ketika kalian berdua pulang larut sehabis menonton acara di universitasnya. Meski begitu, kau masih bisa merasakan jejak-jejak kehadiran orang itu juga. Gitar di sudut kamarmu yang belum kau sentuh sejak hari perpisahan itu, memori tentang orang itu masih terukir dengan jelas di sana. Di tiap jengkal kamarmu; bayangan orang itu juga masih ada. Dan itu selalu dan selalu membuatmu menahan dirimu untuk menerima dia, karena dia tak pantas mendapatkan seseorang yang tidak bisa mengembalikan perasaannya sepenuhnya.


'Why can you just accept me? Am I too unperfect for you?'

Kau menggeleng ketika mendengar pertanyaannya itu. Justru karena ia terlalu sempurna di matamu, kau tidak bisa mengatakan ya kepadanya. Selama orang itu terus hadir di tiap fragmen pikiranmu; kau tidak mungkin membohongi dirinya dan berpura-pura bahwa kau mengembalikan tiap perasaannya dengan intesitas yang sama sementara kau tahu bahwa sebagian besar hatimu masih bertahan di satu tempat. 'It's not you, it's me,' kau berkata pelan, beranjak dari kursimu dan hendak pergi meninggalkannya ketika kau merasakan jemarinya melingkari pergelangan tanganmu; mencegahmu pergi. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi genggamannya tidak ia lepas sampai lama sesudahnya.



Hari itu menyisakan kenangan yang amat jelas di dalam benakmu. Diawali dengan rutinitas yang sama dan berakhir pada ajakan orang itu untuk pergi ke toko kue di daerah yang memang sudah menjadi jajahan kalian. Seharusnya hari ini tidak akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kalian menghabiskan waktu berdua dan kemudian dia akan memaksa untuk mengantarkanmu pulang; yang pada akhirnya kau terima saja meskipun kau tidak mengerti mengapa ia harus melakukannya. Seharusnya semuanya berjalan seperti itu. Kau tidak pernah menyangka bahwa kau akan bertemu dengan orang itu, merusak rutinitas dan keseimbangan yang susah payah kau bangun.


Senyumnya masih sama dengan yang kau ingat dulu, begitu juga caranya menyebut namamu. Kau tidak tahu harus bagaimana, jadi kau membiarkannya bicara. Dan terakhir ia mengajakmu untuk minum kopi sebentar, kau langsung menyanggupinya. Sesaat melupakan seseorang di sisimu, yang sudah terlebih dahulu kau janjikan keberadaanmu. Ketika kau ingat dan menoleh ke arahnya, kau bisa melihat emosi yang terbendung dari caranya menatapmu. Dan kau merasa sakit. Terlebih ketika ia mengucapkan selamat tinggal dan tersenyum pada orang itu sekalipun kau bisa melihat semua itu tidak nyata. Kau ingin menahannya, namun pada akhirnya kau hanya bisa merelakan kepergiannya.


Pada akhirnya, kau tidak menyesal karena menerima ajakan orang itu. Semua hampir terasa seperti dulu, hampir. Ada cincin platina melingkari jari manis orang itu, identik dengan cincin yang kau ketahui melingkari jari sahabatmu. Kau sadar bahwa ia bukan milikmu lagi. Meskipun tiap momen berlalu seperti tidak pernah ada perpisahan di antara kalian. Dan di akhir waktu, saat ia memberimu pelukan singkat dan mengusap kepalamu seperti yang ia biasa lakukan, kau sadar bahwa kau juga bukan lagi miliknya.

Kau hampir berlari pulang, tidak sabar. Berkali-kali melirik telepong genggammu dan mempertimbangkan untuk mengirimkan pesan kepada orang itu. Tapi kau urungkan niatmu itu, memutuskan untuk melakukannya setelah kau sampai. Kau tidak pernah menduga ia akan menunggumu di depan rumahmu, menyandarkan tubuhnya ke pagar dan menatap langit. Entah sudah berapa lama ia menunggumu di situ. Entah sudah berapa lama ia menunggumu. Kau tidak mengatakan apa-apa; hanya menariknya ke dalam rumah.


'Sing.'

Itu kata yang pertama kau ucapkan padanya, dengan gitarmu di tangan memainkan melodi yang kalian berdua kenal betul. Melodi yang menghantui hidupmu selama bulan-bulan terakhir. Kau melihatnya ragu sesaat; kemudian nada-nada mengalir begitu saja dari tenornya yang lembut.



"Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze ?"


Ini kali kedua kau menangis karena lagu yang sama. Namun kini dengan alasan yang berbeda. Kau menyentuh tempat dimana jantungmu berada, menggenggam bajumu erat-erat sementara air mata terus mengalir di pipimu. Ia duduk di sampingmu, melingkarkan lengannya di bahumu. Dan kau merasa bodoh. Si idiot yang tidak menyadari bagaimana orang di sampingmu telah menjadi sosok yang paling penting bagimu; buta karena ilusi dari cinta lama. Kau merasa seperti disiram oleh jutaan emosi, semua yang kau bendung mendadak mengalir. Dan kau tidak mengerti mengapa selama ini kau tidak menyadarinya. Kasihnya yang tak putus berapa kalipun kau menolaknya, kehadirannya yang konstan meski tak pernah kau minta, tiap perhatian yang ia curahkan padamu, semua, semua yang telah ia berikan padamu.

'I love you,' kata yang akhirnya kau ucapkan di sela tangisanmu. Kau mengenggam lengan bajunya erat-erat; enggan melepaskannya lagi. Kau mengulang-ulang kalimat itu terus menerus, membenamkan wajahmu ke bahunya. Kali berikutnya ia berkata padamu, 'be mine,' kau tanpa ragu mengiyakannya.




Pada akhirnya gitarmu menjadi pengingat dari memori yang baru. Pengingat akan pemilik suara tenor lembut yang selalu ada di sisimu.

Selfish


#137 /47- Selfish (N'Sync)

I just don't understand
Why you're running from a good man baby
Why you wanna turn your back on love
Why you've already given up

Ia seorang yang sabar, menunggu separuh hidupnya juga ia bisa. Asalkan akhirnya memang ia bisa mendapatkan keinginannya. Tapi ada saat-saatnya ia tak habis pikir, ketika kedua tangannya bersidekap, matanya menatap tajam ke arah sosok berjarak lima meter darinya; dalam pembicaraan seru dengan seorang pemuda yang sering ia lihat. Ada saat-saatnya ia tak habis pikir, kenapa ia yang begini bisa memainkan peran yang menunggu dan bukan yang ditunggu. Kenapa ia tidak bisa membelokan hati seseorang, kenapa ia tidak bisa mendapatkannya?

Ia seorang yang menjaga agar dirinya tidak menonjol; secara terang-terangan setidaknya. Tapi ada juga saat-saat ia merasa seharusnya ia melakukan lebih, agar diakui, agar dilihat olehnya. Agar perhatiannya tertuju padanya. Tetapi apapun yang ia lakukan, tetap saja, selalu dan selalu, mata milik orang itu mengejar sosok yang lain.

Ia seorang yang puas dengan hidupnya, mensyukuri apa yang sudah diberikan kepadanya. Tapi ada saatnya, ia mengutuk nasibnya dan merasa hidup tidak adil; karena seharusnya orang itu juga miliknya.

Ia seorang yang tenang, jarang menampakan emosi berlebihan. Tapi ada saatnya emosinya meluap-luap, ada saatnya ia begitu marah hingga ia harus memukul dinding dengan kepalan tangannya agar ia tidak langsung mencari target amarahnya dan mengamuk sepuasnya. Meskipun si brengsek itu sudah sepantasnya dihajar karena membuat orang itu menangis. Mengumbar harapan semu kemudian begitu saja menghempaskannya ke tanah. Tidak sadar betapa beruntungnya dia karena mendapatkan sesuatu yang telah ia dambakan sejak lama. Ya, orang itu memang pantas dihajar sampai mati.


Ia seorang yang tegar, ketika ia harus menghadiri pemakaman neneknya pun ia bisa berdiri menyaksikan dengan raut muka datar. Tanpa ada keinginan untuk meneteskan air mata sedikitpun. Tapi ketika ia menatap sosoknya yang menangis dalam diam, ketika ia membiarkan sosok itu memeluknya dan membasahi bagian depan t-shirtnya; ia tidak tegar lagi. Dan ketika orang itu meminta maaf padanya setelah ia menumpahkan seluruh isi hatinya, mengatakan bahwa si brengsek itu sudah sepatutnya dilupakan dan bahwa ia lebih baik darinya; ia merasa ia bisa menangis sejadi-jadinya sekarang.


'Maaf, aku tak bisa.'





I'll be taking up your time
Until the day I make you realize
That for your there could be no one else
I just gotta have you for myself

Hari ini juga ia mendatangi cafe tempat orang itu bekerja. Menempati meja di sudut dan mengamati sekumpulan murid SMA yang tanpa malu-malu memperlihatkan ketertarikan mereka pada orang itu, yang hanya bisa tersenyum terpaksa di belakang meja kasir. Dasar bocah-bocah sialan. Jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar, menatap tajam satu persatu murid-murid yang memanggil-manggil nama orang itu. Ia melirik ke arah kasir, menatap orang asing yang kini berdiri di posisi orang itu. Mengedip beberapa kali, ia menatap pintu untuk karyawan di belakang, mengira orang itu pergi ke ruang karyawan untuk beristirahat. Kecewa sedikit, karena tak bisa melihatnya lagi. Namun sedikit senang, setidaknya bocah-bocah tengik itu juga tak bisa mengganggu orang itu.

Detik berikutnya kursi di hadapannya bergeser dan orang itu sudah duduk di sana, membawa dua gelas cappucino panas seperti yang selalu ia pesan. 'Banyak krim dan banyak gula', orang itu berkata dengan cengiran lebar di wajahnya, 'tak mengerti bagaimana kau bisa suka kopi semanis itu.'

Ia mendengus, merujuk pada kenyataan bahwa orang di depannya itu bisa memakan banyak banyak permen dan cokelat dan tak pernah kelihatan muak dengan semua manisan itu. Ia ingin mengatakan hal itu dengan ekspresi mengejeknya yang biasa, tapi bibirnya kembali mengatup di tengah-tengah. Ia menggenggam erat cangkir kopinya, tak peduli ketika panas cairan yang baru mendidih itu menyakiti telapak tangannya. Karena orang itu memandang pintu dengan penuh harap, masih berharap si brengsek itu kembali. Dan ia tidak tahan menatap penantian yang terlihat jelas di mata orang itu. Padahal dia yang sekarang ini ada di hadapannya, tapi ia merasa tembus pandang. Tak terlihat. Karena orang itu hanya melihat satu orang.

Ha. Ha. Ha.

Ia mengacak rambut orang itu, bercanda dengan menuduhnya melamun karena mendapatkan nilai jelek di ujian kalkulus. Padahal ia tahu dia bisa dibilang master dalam mata kuliah itu. Pukulan ringan mendarat di lengannya dan suara tawa terdengar. Setidaknya ia masih bisa mengalihkan perhatian orang itu. Lima belas menit lagi waktunya sampai ia harus pergi, menghadapi kurva elastisitas harga alih-alih menatap nanar orang yang duduk di hadapannya ini, yang sedang menceritakan salah satu pelanggan kafe yang menabrak pintu tadi pagi, yang terlihat cantik saat tertawa. Meskipun ia bisa melihat sesekali mata orang itu melirik ke arah pintu kaca.





You can call me selfish
But all I want is your love

'Sudah kubilang sebelumnya, aku tak bisa.'

Tapi ia tetap tak bergeming, hanya mengangkat bahunya dan berlalu. Meskipun tekad dalam hatinya masih belum padam. Ia ingin mengutuk si brengsek itu, yang berani mengambil hati seseorang lalu membuangnya begitu saja. Tapi dia tidak pernah membenci orang itu. Sekalipun sudah dilukai, dia masih tetap tersenyum kecil dan berkata bahwa tindakan itu justru membuatnya semakin berpikir bahwa orang itu amat spesial.

Spesial. Ha. Meninggalkan pacarnya sendiri demi selingkuhannya, itu yang disebutnya spesial? Ia tak bisa menerima alasan tidak logis itu. Baginya tindakan brengsek, ya, membuat orang itu brengsek, bukan spesial. Sama sekali tidak spesial. Dan ia tak bisa mengerti mengapa orang di depannya ini masih tetap memendam perasaan pada orang itu sekalipun tahu tidak akan pernah berbalas, tidak mengerti kenapa ia bisa kalah dari orang macam itu. Tak mengerti, sama sekali. Padahal ia siap memberikan semua yang ia miliki untuk orang itu, padahal ia siap melakukan apapun demi orang itu, tapi ia masih tetap kalah.

'Aku menghargai perasaanmu,' kata orang itu suatu kali, alisnya menekuk tidak senang, 'tapi kau tidak bisa memaksakan kehendakmu begitu. Jangan egois.' Keji. Hanya karena ia berkata segera lupakan saja si brengsek itu dan jadi pacarnya saja. Ia biasanya bukan orang yang akan memaksa orang lain, setidaknya secara terang-terangan. Tapi untuk kali ini, ia tak akan menyerah.

Ia tak akan pernah melepaskannya.





You can call me hopeless
Cause I'm hopelessly in love

Ia mengikuti orang itu lagi, toko sepatu, toko olah raga, toko es krim, toko buku; kemanapun. Orang itu awalnya heran, kemudian justru menarik tangannya, menunjuk sneakers putih merah muda yang menurut orang itu sangat 'cute'. Membayangkan senyum orang itu jika ia memberikan sepatu tersebut padanya, ia langsung memutuskan akan membelinya untuk kado ulang tahun orang itu bulan depan. Ia ditarik ke toko boneka, atau apapun toko itu, yang tiap sentinya bewarna pink dan membuat matanya sakit. Ia memasukan tangannya ke dalam saku, berpura-pura tidak peduli meskipun sebenarnya ia gentar melihat semua barang bewarna mencolok begitu. Ia mencari sosok itu yang sudah bergerak cepat ke sudut lain ruangan, cepat-cepat mengikuti di belakangnya, tidak ingin dikira orang aneh karena masuk ke toko yang sudah jelas sangat girly.

Orang itu berdiri di depan boneka kelinci putih besar dengan pita merah muda di lehernya. Ia melihat orang itu berpikir keras. Saat ia bertanya kenapa, kata orang itu ia ingin membeli boneka itu tapi ia sedang menabung untuk membelikan adiknya hadiah jika berhasil masuk SMA yang diinginkannya. Tanpa pikir panjang ia langsung meminta pegawai toko itu membungkus kelinci putih itu. Mata orang itu membelak, cepat-cepat berkata tidak perlu dan beralasan bahwa ia tidak benar-benar menginginkannya. Yang ia tepis dengan mengangkat bahu dan berkata ia hanya ingin membelikannya saja, dan kalau tak mau ia akan memberikan boneka itu pada kakak perempuannya.

Pada akhirnya orang itu memeluk plastik berisi boneka itu erat-erat, mengucapkan terima kasih berulang-ulang dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Si pemuda hanya mengangkat bahu. Ia tidak perlu memberi tahu orang itu bahwa ia terpaksa menunda membeli jam tangan yang sudah lama diinginkannya.

Siapa sangka harga boneka semahal itu.



Orang itu menariknya ke toko yang lain lagi, menunjuk-nunjuk anak kecil manis yang memeluk kaki ayahnya, melakukan hal-hal random yang memunculkan gelak tawa keduanya. Sejenak ia merasa senang, merasa dibutuhkan, setidaknya sampai orang itu menatap toko peralatan musik dengan raut wajah ganjil. Si brengsek itu pandai bermain musik, katanya. Ia menggigit bibirnya, menjaga agar tak mengucapkan kata-kata makian. Butuh waktu hingga ia akhirnya bisa bertindak seakan tidak ada yang terjadi dan menepuk kepala orang itu, nyengir sambil menunjuk restoran di ujung mall dan berkata kau lapar.

Ia menunjuk restoran sushi, karena ia tahu orang di depannya ini penggemar makanan Jepang. Ia tak mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak suka bahkan hanya memikirkan ikan mentah, cukup mengambil unagi dan melihatnya senang bagimu sudah cukup. Perutnya bisa menunggu mie instan di rumah beberapa jam lagi.

Ada sushi di depan mulutnya, dan ia melihat orang itu nyengir. Mengutuk dalam hati, ia membuka mulutnya, mengunyah gumpalan nasi dan ikan itu pelan-pelan. Ekspresinya tetap datar, namun ia cepat-cepat meraih gelasnya. Meneguk isinya banyak-banyak untuk menghilangkan rasa wasabi yang masih menempel di lidahnya. Orang itu tertawa, menyodorkan gelasnya sendiri dan berkata ringan, 'you're hopeless.'





You can call me unperfect
But who's perfect?

'It's not you, it's me,' kata orang itu ketika ia bertanya kenapa orang itu tak masih tak mau menerimanya. Dalam hati ia terus mencari-cari alasan kenapa orang itu belum juga berpaling padanya. Padahal ia sudah melakukan hal-hal sampai sebegini. Ia kurang apa sampai detik ini pun yang diterimanya hanya penolakan.





Tell me what do I gotta do
To prove that I'm the only one for you
So what's wrong with being selfish...?









'Be mine.'

'...okay.'



Let's Not...


#411/47 Let's Not (Super Junior)

Don’t cry in pain
Counting the time that’s passed
Don’t miss a foolish love that’s already passed
One who looks at only you and needs only you
Meet someone who loves you so much
They can’t go a day without you

Please,
I hope that you’ll be happy
Let’s never meet again



Mungkin adalah suatu kebohongan jika ia mengaku tidak memiliki perasaan apapun pada orang itu. Karena ia tahu meskipun hanya setitik saja, ia juga memiliki perasaan yang sama. Tapi memang sebuah hukum alam, bahwa manusia tidak mungkin mencintai dua orang sama besar dengan adil. Dan ia tahu, seberapa besarpun ia menyayangi orang itu, yang menduduki peringkat satu bukanlah orang itu.

Ia tidak pernah berpikir bahwa ia orang jahat sampai hari ini. Ketika ia bersiap untuk mengatakan selamat tinggal pada orang yang hingga detik ini masih memegang lengan bajunya, tersenyum dengan segala kepolosan yang ada di bumi dan bergantung padanya sedemikian rupanya. Ia mendengarkan rangkaian cerita keseharian orang itu, dengan nada naik turun bersemangat, baik keluhan mengenai penjual boneka yang menolak untuk memberikan diskon untuk boneka kelinci merah muda yang ditaksirnya atau mengenai anak kucing yang mendadak muncul di depan pintunya kemarin. Ia merasa bersalah, karena ia tahu ia akan merenggut ekspresi bahagia yang kini bermain di wajah orang itu.




"Let's not... meet again."




Meski ia sendiri yang mengucapkan kalimat itu, ia sendiri merasa aliran dingin merambati tulang punggungnya. Ia tidak berani menatap sosok di sampingnya, takut resolusi yang sudah diambilnya runtuh dan komplikasi berkepanjangan terus hadir. Menyakiti dirinya sendiri, orang di sampingnya ini, dan dia.

Ia merasakan, tarikan di lengan bajunya mengendur hingga akhirnya hilang. Ia menghitung sampai lima, menarik nafas gugup sebelum akhirnya ia memberanikan diri menatap orang itu. Dan dalam hati ia mengaguminya yang selalu begitu tegar meskipun dari luar tidak terlihat. Kadang ia melupakan kenyataan bahwa orang yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang yang sudah mengalami lebih banyak penderitaan darinya, yang sudah biasa menerima kata perpisahan. Dan penyesalan mulai menyeruak di ruang hatinya, merasa luar biasa jahat karena telah menambah satu lagi beban untuk orang itu.

Maaf--ia berkata. Meskipun ia tidak ingin melihat orang itu terluka, mungkin ini memang jalan yang terbaik. Meskipun mungkin suatu saat akan ada penyesalan, tapi kali ini ia merasa harus mengucapkan selamat tinggal. Maafkan dia yang pengecut, yang selalu bertingkah sok kuat meskipun sebenarnya ia ketakutan setengah mati. Karena ia tak yakin bisa memberikan kebahagiaan kepada siapapun selain dia, karena ia tak yakin bisa melindungi orang di hadapannya. Ia pengecut yang ingin memberikan tanggung jawab untuk melindunginya ke orang yang lebih mampu. Karena ia menyayanginya, sangat, namun ia mencintai orang lain. Untuk itu, ia menyesal.

Tapi orang itu hanya tersenyum kepadanya, sekalipun ia melihat sudut mata orang itu basah dan perlahan tetesan air mata mengalir di pipinya. Seakan-akan orang itu sudah tahu bahwa suatu saat waktu ini memang akan datang cepat atau lambat. Instingnya membuatnya melingkarkan lengannya di leher orang itu, memberikan kecupan di puncak kepalanya dan membisikan kata maaf di telinganya. Ia merasakan kepala dalam dekapannya menggeleng, menolak permintaan maafnya.




Dan saat ia berjalan menjauh, kau hanya bisa berharap kebahagiaan akan menemukan dirinya. Bahwa akan ada orang lain yang bisa memberikannya lebih daripada apa yang bisa kau beri.



Let's not meet again.

Love The Way You Lie


#137 - Love The Way You Lie (Rihanna-Eminem)

Just gonna stand there and watch me burn
That's all right because I like the way it hurts
Just gonna stand there and hear me cry
That's all right because I love the way you lie
I love the way you lie



Ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, membiarkan kedua lutut dan tangannya menjadi tumpuan tubuhnya sementara ia membungkuk, menundukan kepalanya dalam-dalam. Mengucapkan maaf berulang kali, penyesalan berkepanjangan, dan banyak janji bahwa tidak akan ada lain kali. Ia mengangkat kepalanya dan menatap sosok di hadapannya dengan pandangan memohon, tenornya terdengar terus dalam lantunan janji-janji halus yang sama seperti tiap kalinya. Jangan pergi, jangan pergi kumohon, katanya. Aku akan berubah, kumohon, akan kulakukan apapun asalkan kau tidak pergi, ujarnya dengan nada yang membuatmu hampir menyerah. Kau tahu itu semua hanya kebohongan lain yang diciptakannya, kau tahu.

Namun kali ini juga kau tidak bisa menolak permohonannya.

Kau membungkuk di hadapannya dan melingkarkan kedua lenganmu di lehernya, membisikan kata-kata lembut bahwa kau tidak akan pergi, selamanya di sisinya. Kau merasakan ia membalas pelukanmu dengan kalimat-kalimat penuh terima kasih terucap tak henti-hentinya, dan kau tersenyum meskipun pipimu mulai basah.




Tujuh puluh jam kemudian saat memar kebiruan muncul di pipimu dan luka di sudut bibirmu kembali terbuka, sekali lagi kau mengepak baju-bajumu ke dalam tas. Untuk yang kedua kalinya minggu ini, warna merah muda di apartemen milik kalian berkumpul di dalam tasmu. Karena dia tidak pernah menyukai warna itu. Kau tersenyum getir, teringat tahun-tahun sebelumnya saat dia masih membelikan macam-macam benda merah muda hanya untuk membuatmu tersenyum. Dulu. Kau menutup resleting tasmu, menyampirkan ransel merah muda pucat pemberiannya di bahumu. Tapi dia kembali datang, memohon di depan kamarmu. Mengatakan kalimat cinta yang semakin terasa kosong di telingamu. Kali ini kau menggeleng pelan, sudah cukup semua janji yang pada akhirnya tak pernah terlaksana. Pipimu masih terasa sakit, dan kau tahu kau harus mengganti perban di lenganmu dalam waktu dekat. Jadi kali ini kau menggeleng, siap untuk melangkah keluar dari kehidupannya dan meninggalkan rasa sakit di belakang.

Tapi kau tetap tak berdaya ketika dia menarikmu ke arahnya.


Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf.


Dia terus mengucap kata itu dengan suara lirih. Suara tenor yang dulu sering menyanyikan lulabi untukmu. Berulang-ulang kata itu terdengar hingga kau merasa tubuhmu lemas dan sekali lagi kau dibuatnya menangis. Kau melepaskan tas dalam genggamanmu, membiarkannya jatuh dengan suara pelan ke lantai. Tanganmu menggenggam lengan bajunya, erat seakan tidak ingin melepaskannya. Kau memang tidak ingin.

Kau harus bertumpu pada ujung jari kakimu agar bisa meletakan dagumu di bahunya. Sebagian dirimu ingin membebaskan diri, tapi seperti biasa, wangi tubuhnya membuatmu kelu. Kau hanya bisa menghirupnya dalam-dalam, campuran wangi cologne yang bercampur dengan aroma anggur merah. Kau tidak ingat sejak kapan kau meninggalkan obsesimu pada minuman itu, hanya menatap dari sisi sementara ia yang menenggak gelas berisi alkohol. Kau juga tak ingat lagi, kapan rasa frustasi mulai membutakannya dan kapan pertama kali ia melemparmu ke dinding. Kau tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia bernyanyi untukmu atau kapan ia berhenti mengecup keningmu. Kau tidak ingat, sejak kapan kata sayang dan cinta kehilangan arti untukmu.

Ia terus membisikan kata-kata lirih, janji bahwa ia tidak akan pernah melakukannya lagi. Kau tahu itu hanya satu lagi janji palsu yang diucapkannya, seperti sebelumnya. Dan sebelumnya lagi. Tapi kau tetap membiarkan dirimu terkurung dalam kehidupannya. Karena janji palsu itu adalah buatannya, karena semua kebohongan yang terucap tak peduli seberapa menyakitkan itu terucap darinya, dan kau bisa tidak peduli dengan semuanya, dengan dirimu sendiri, karena kau tahu bahwa kau hanya hidup untuknya.



Kali berikutnya ketika janjinya terbukti sekali lagi hanya kata-kata kosong dan kau bersiap-siap untuk pergi. Kau sebenarnya tahu bahwa kau hanya mengulangi rutinitas yang sama. Karena kau memang tidak akan pernah meninggalkannya. Karena kau pikir, mencintai berarti menerima semua kelebihan dan kekurangan seseorang. Dan jika pukulan dan kebohongan adalah bagian dari dirinya, kau juga mencintai bagian itu tanpa terkecuali.



Dan ketika malam itu ia menyanyikan lulabi untukmu dan mengecup keningmu setelah sekian lama, kau berpikir bahwa semua itu seharga dengan sakit yang kau terima.