210

layang-layang,
terbang tinggi menghiasi langitku
kadang rasanya sepi, hanya bisa melihat dari kejauhan
karena kamu tinggi, tinggi (tinggi)
tapi aku di sini, tak punya sayap
tapi tak ada yang salah
selama kamu masih mewarnai langitku

ada kata yang tak pernah sampai
ada suara yang tak bisa didengar
kata orang cinta itu harus dilepas
seperti memotong tali layangan kalau ia terlampau tinggi
biar kamu terbang sampai jauh
sesuka hatimu (bersama doa dariku)

karena menarikmu sampai jatuh bukan pilihan
maka aku saja yang mencari sayap
atau pesawat
atau roket
biar kelak (entah kapan) bisa ikut terbang

209

Saya pernah dengar kata kelam yang digunakan untuk menggambarkan malam. Pernah juga ada kata puing untuk mendekripsikan bangunan yang sudah ditelantarkan. Tinggal puing.

208

   Hujan.
   Hujan.
Hujan.
Hujan.
Hujan.
Hujan.
Hujan.

207

Kadang ada malam di mana saya ingin menangis sepuasnya. Tanpa alasan. Biar semua kesedihan yang lalu, yang sekarang, yang akan datang, mengalir semua. Kemudian saya akan menghadapi besok dengan senyum lebar dan jutaan pikiran baik.

206

Rupa bisa begitu bias hingga kau bertanya-tanya apa yang salah, apakah dunia ini begitu kejamnya hingga semua hal harus dinilai dengan panca indera. Kau bilang yang penting itu hati, tapi kemudian kau menolehkan kepalamu ke arah Aphrodite; dan semua orang tahu bahwa hatinya bukan yang tercantik (kau tahu dia mengutuk Medusa agar hidup dalam sepi).

205

Kamu melihat dunia ini seperti film hitam putih, dunia lama yang hanya pernah dilihat oleh orang dari masa lalu. Segalanya abu-abu dan kadang bisa menjadi pemandangan yang membosankan, hingga kamu akhirnya memejamkan matamu karena lelah. Pada semua hitam putih dan kelabu.

Kadang, hanya terkadang saja, muncul noda kuning atau garis biru atau semburat merah. Sebelum mereka lenyap dan dunia kembali monoton. Tapi cukup untukmu mengatakan bahwa dunia ini bisa indah, jika pelangi kembali memiliki tujuh warna.

204

Pada satu kesempatan (mungkin sering) ada saat ketika kita berkata, tidak ada yang mengerti. Lalu kita berjuang keras mencari satu saja titik terang, mungkin satu orang yang bisa mengerti, mungkin sesuatu yang bisa menarikmu keluar dari dunia suram di sekelilingmu, mungkin sekedar pengakuan atas eksistensimu, bahwa kita juga masih sama-sama berdiri di atas bumi ini.

203

Kamu bukannya rapuh, hanya katamu, hidup seperti padang ilalang yang untuk menemukan jalan kamu harus menebasnya. Barangkali ada waktu kamu merasa lelah, sehingga kita harus duduk sejenak menatap langit dan mungkin mengeluh satu dua kali, bertanya-tanya apa yang salah dan mengapa. Tapi itu bukan sesuatu yang salah kan? Selama sebelum hari berakhir kita bangkit dan kembali mencari jalan pulang.

202

Kita menyanyikan lagu yang sama, tentang dunia yang jauh, tempat tengah malam jadi penanda akhirnya dunia, tempat belati menentukan siapa yang bisa hidup, tempat satu jarum menghentikan waktu sampai seratus tahun, dan tempat di mana menara tinggi memisahkan kehidupan satu dengan yang lainnya.

Seorang tua renta menari-nari dan bertanya berulang-ulang, siapa namaku, siapa namaku. Dan kita menebak dari huruf a sampai z tapi ia tetap menari dan menggumamkan pertanyaan yang sama. Mungkin dia alpa karena tua, tapi ia masih sanggup memintal jerami menjadi emas.

Siapa namaku? Siapa namaku?

Lupa.

Namamu lupa.

201

Dia bilang dia hanya butuh sesuatu yang membuatnya ingin esok hari segera datang,
sesuatu yang membuat hidup bukan sekedar rutinitas yang dimulai dari pagi hingga malam.
Dia bilang dia bukannya tidak percaya pada takdir, tapi jika ia bisa membuat masa depan
kenapa ia harus menunggu sesuatu yang entah kapan datangnya.
Dia bilang ini bukan sekedar keinginan, kebutuhan untuk peduli dan dipedulikan,
dan suatu tempat ia bisa merasa aman.
Dia tahu kau bukan Tuhan yang bisa mengabulkan semua permohonan,
tapi manusia tidak bisa hidup sendiri.

200

Gema dari suara terakhir perlahan pudar, sisa dari percakapan tanpa isi yang terlupakan dengan bergantinya hari. Setiap bulan naik pertanyaan muncul, di mana kamu dan apa yang kamu pikirkan dan apa dunia ini harus selalu menjadi tempat yang sepi? Aku mencari jawaban seperti kamu mencari kebenaran. Keduanya sama-sama sesuatu yang bisa jadi tidak ingin kita terima.



199


Jangan menangis, bukankah dunia ini fana?

198

Ratusan kata akhirnya hanya jadi gurauan ketika makna tak pernah sampai, meragu dan hanya berharap pada waktu seolah hidup seperti kabut yang kalau ditunggu akan menghilang dengan sendirinya. Hidup terlalu singkat katanya, terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menunggu. Kalau bintang enggan bersinar mari kita nyalakan ribuan lentera di langit, kalau kapal enggan berlabuh mari kita tarik ia sampai ke tepi. Karena sabar bukan berarti menunggu nasib, tapi berjuang keras dan menerima kegagalan yang mungkin sampai.

197

Di kota itu kita berhenti sejenak, menatap jendela yang tinggal lubang menganga, pintu yang tak pernah tertutup, dan kegelapan yang datang ketika matahari bersembunyi. Seluruh tempat diselimuti bayangan, dan cahaya yang ada hanya berasal dari bintang yang berpendar nun juh di sana. Seperti ilusi tentang negeri di tempat jauh, di mana dunia bukan sekedar hitam dan sepi.

Warna warni raib, dan tanganmu menggapai meminta pertolongan. Dalam dunia bisu ini, siapa yang bisa mendengarmu? Lalu kau menangis, tapi dunia yang buta ini tak pernah melihatmu.

196

Terkadang dunia bisa menjadi tempat yang buruk rupa, sangat menyedihkan sampai kita jadi bertanya-tanya apakah hidup itu sebuah anugrah atau justru malapetaka. Tapi kita tetap percaya pada esok hari, bahwa mungkin ada sesuatu yang baik dibawa oleh matahari terbit. Di ujung hari juga kita akan bertanya-tanya apakah percaya adalah hal yang baik, ketika kita melambungkan harapan setinggi langit untuk kemudian dibanting hingga luluh lantak. Hingga hanya tersisa puing...

Yang kemudian kita susun satu persatu agar kembali menjadi satu yang utuh. Namun porselen yang rusak tak akan bisa kembali sempurna seperti semula tak peduli sekuat apa perekat yang ada. Bekas retakannya masih ada, dan kembali bertambah setiap pagi ketika yang ada hanya puing. Semakin banyak puing, semakin banyak, hingga akhirnya tinggal debu.

Dan tiada.

195

Dari sepuluh angka yang ada, kami memintal dua dan lima, mengukir angka satu dan tujuh, melukis tiga dan empat dengan warna pelangi, dan memaknai sisanya dengan doa. Lalu di awal pagi ketika matahari terbit, selagi berharap, doa bersinggungan. Apapun yang terjadi, semoga hari ini juga Tuhan membiarkanmu berseri.