I said farewell, to the life I left behind
To you, who left me
To you, who left the life I know
You said farewell, to everything you've had ever since
To me, who left you
To us, although there's never been us
What do you think,
I've been wondering,
About how a glass is supposed to break
Do you dream about your God too?
Or do you think it's a hallucination
The kind you get when mescaline purifies your blood
It's a one way trip, someone said
Pilu menurunkan tangannya, tidak dengan hati-hati seperti belaian; ia datang menampar dengan keras, sekuat tenaga. Sampai tubuhmu goyah dan untuk pertama kalinya dalam kurun waktunya yang lama, kau ingat bahwa dunia ini berputar (dan tidak pernah berhenti, hanya di dalam pikirmu, di dalam anganmu).
(Selamat tinggal, malaikat)
Pagimu berupa rangkaian yang sama tiap harinya, hanya satu dua hal yang berubah. Kau berusaha membuatnya tetap sama, menu sarapan yang sama, bunga di dalam vas yang sama; tapi kau tahu bahwa tidak ada lagi yang sama (hanya serupa tapi tidak akan pernah sama).
Semuanya terasa dingin dan kelu, hujan terus menerus meskipun di langit matahari benderang. Denting piano yang ceria terdengar seperti simfoni duka. Forget-me-not di atas marmer dari hari yang lalu sudah mengering.
Selamat tinggal (selamat tinggal), tiba waktunya untukmu memejamkan mata dan bermimpi. Mimpi tentang semua yang sudah kita lalui selama ini.
Dalam ragamu, dalam jiwamu yang membusuk, kau sadar ada pertanyaan besar di sana. Sesuatu yang besar dan beratnya membuat jantungmu sulit memompa dan nafasmu tersengal. Dalam hatimu, dalam kepalamu yang terpecah belah, ada duka yang dibungkus lapisan koran. Berlapis-lapis, lapis, lapis layaknya bawang. Dalam duniamu, dalam belukar yang membelitmu, kau hanya ingin terbangun.
Kadang yang kita butuhkan hanya sebuah mantra untuk percaya pada keajaiban. Untuk percaya pada matahari yang selalu terbit meskipun pernah tenggelam. Kadang yang kita butuhkan hanya sebuah peran. Seperti aktor yang rajin mengulang kalimatnya dan meniti hidup dalam skenario dengan harapan suatu saat, lakon saru dengan yang nyata. Tidak ada lagi peran, hanya hidup.
Tapi namanya lakon karena ia bukan nyata.
apa bedanya rekursif dan lingkaran setan? hanya berputar-putar mengitari pagar tanpa pernah masuk, tanpa pernah tahu. tanpa pernah tahu seperti apa rupanya dan cerita apa yang dimilikinya.
Kami mempertanyakan apa yang mengawali, apa yang terjadi dan bagaimana akhirnya. Menggunakan logika untuk menjawab apa yang dirasa. Tidak ada, jawabannya tidak ada. Ucapan hanya menyisakan kata yang kehilangan makna, kehilangan jiwa. Dan di akhir malam tidak ada yang kau percaya. Selongsong kosong yang lupa nama, lupa makna.
Nilai mutlak itu hanya ada pada sebagian sains, hal yang mutlak hanya ada pada tiap tutur kata Tuhan. Kadang manusia tidak sadar, rasa menipu mutlak ketika dia yang paling tidak mutlak. Di balik semua yang relatif ada hal yang tak bisa disamakan. Seperti sejarah dan rasa atau tumpukan tameng yang menanti runtuh.
Persona, kalau kau tahu wajah sebenarnya, barangkali bukan sekedar nama yang tertulis dan cerita yang menarik. Di baliknya mungkin ada torehan luka dan pilu, di atasnya mungkin ada awan kelabu yang menggantung, di pijakannya mungkin ada nasib yang terinjak.
Mereka yang bercerita tentang kematian tanpa gemetar mungkin sebenarnya diam-diam menunggunya. Tanpa suara bersembunyi dan menunggu.
Kami pernah jatuh dan jatuh. Dan jatuh, hingga akhirnya tak bisa jatuh lagi. Sampai berada di dasar hampa di mana gaya tak bisa menyentuhmu. Melayang-layang seperti partikel debu di udara (tapi kau bahkan lebih ringan daripada debu). Gravitasi hanya sebuah apel yang jatuh ke pelukanmu, kau tak pernah sadar betapa ia selalu setia berada di sisimu. Kau tak lagi terjatuh. Hanya tersesat. Dan putus asa.
andai kita bisa memilih jadi apa ketika dilahirkan, andai waktu bisa berputar kembali dan aku punya kesempatan untuk memilih; jalan yang kuambil akan tetap ini. aku bisa menjadi pohon, tempat kau bisa mengistirahatkan sayapmu yang lelah. aku bisa menjadi malam, supaya kau bisa bersinar lebih terang dari siapa pun. meski aku punya kesempatan untuk mengubah segalanya, aku akan tetap berada di sampingmu.
Menit ini, detik ini; temanku sedang berjuang melawan sang api. Gagah perkasa ia berkobar sampai ke langit, membawa teror sampai ratusan meter. Kami semua mengangkat tangan dan berdoa 'hujan, hujan, turun sekarang, tolong'. Tapi langit bergeming, seakan apa yang kami ucapkan hanya sekedar hembusan angin.
Dalam kata yang sulit diungkap kita bicara, dalam isyarat ambigu yang bisa kau tafsir sekehendak hatimu. Bahkan kata 'tidak' menjadi banyak arti; tidak tahu, tidak sekarang atau tidak akan pernah; kau bisa memilihnya sendiri. Garis yang ada kau injak-injak hingga hanya menyisakan bekas yang tak lagi lurus. Barangkali itu yang kau suka, ambiguitas yang membuatmu merasa aman. Karena kau percaya bahwa ada berbagai macam abu-abu di dunia ini dan label tidak pernah membenarkan siapa pun.
Salju, kau pikir, adalah anugerah alam terindah sekaligus paling menyedihkan. Kau pikir tidak ada pemandangan semagis daratan bersalju, kontras antara cerah matahari di langit dan dingin yang menusuk, jejak kaki yang tersisa kemana pun kau melangkah, pipi-pipi yang memerah karena dingin dan uap yang keluar tiap kali kau berbicara. Yang terlihat hanya putih, putih di mana-mana. Sejenak, kau merasa seperti berada di dalam negeri fantasi. Jika musim semi datang, kau pikir kau bisa menangisi kepergian salju yang menemanimu.
Kau pikir sayang sekali bahwa pulau tropis tidak akan pernah mendapati hujan salju. Tidak akan ada orang yang terbangun dan melihat ke luar jendela dengan bahagia, berseru 'salju pertama' tahun ini sudah turun. Yang kau punya hanya hujan dan hujan. Hujan es barangkali yang paling mendekati. Meskipun kau rasa kau tidak akan merasa senang jika kau tidak berada di bawah atap ketika es jatuh.
Hujan. Hujan. Kau pikir cuaca yang begini bisa membuat banyak orang depresi. Meskipun banyak orang mengeluh panas, kau pikir tiap orang masih membutuhkan matahari dalam hidupnya. Mungkin itu yang menyedihkan dari musim hujan, bahwa kau jarang bisa melihat matahari.
Ia tak pernah berkata apa duka yang selalu diseretnya hingga ia tak bisa membumbung tinggi. Seolah dunia kami yang sempit ini tidak akan pernah paham; karenanya ia terus membisu. Kami memujanya, tapi ia hanya sebuah tatapan menerawang yang tidak pernah benar-benar ada. Sekedar selongsong baik rupa yang lupa isinya. Lupa mimpi, lupa nama.
Tuhan, malam ini sekali lagi aku melihat malaikatMu. Dengan latar belakang langit hitam dan kepulan asap, di tengah hiruk pikuk ibu kota yang enggan menutup mata. Di antara semua yang kusam ini, di antara yang kelam ini; kurasa semua orang sesekali akan bosan.