153

Saya sudah berkali-kali diingatkan (dididik, ditempa, dipaksa untuk memahami, atau apapun ungkapan yang paling pas) bahwa saya tidak boleh bergantung pada orang lain. Bertahun-tahun ibu saya menekankan poin ini kepada saya sampai pada suatu waktu saya memang bisa berdiri sendiri, sampai saya berpikir bahwa kalaupun saya dibuang ke hutan seorang diri juga saya tetap akan hidup; bahkan sekalipun saya manusia terakhir di bumi, saya akan tetap hidup.

Tapi ada waktu saya luluh, terlalu dimanja oleh keadaan sampai saya jadi lupa bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk individu. Saya mulai bergantung, saya mulai lemah, saya mulai merasa bahwa saya tidak bisa hidup tanpa orang lain. Entah kenapa (seperti kebiasaan) isu ini selalu muncul setahun sekali, seperti sudah diagendakan. Tahun kemarin saya bisa bangkit dalam waktu satu bulan, kesibukan kepanitiaan sangat membantu waktu itu. Tahun ini kesibukan saya tiga kali lipat, tapi bukannya membantu justru saya jatuh.

Semuanya akan berakhir dengan baik; karena Tuhan mencintai semua mahluknya dan Dia tidak akan memberikan beban yang lebih berat daripada apa yang bisa saya tanggung. Sayangnya saat ini saya kadang-kadang masih tidak bahagia. Satu setengah bulan sudah berlalu dan saya masih harus berpegangan sampai tangan saya sakit. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya merasa selemah, seremeh ini. Kata mereka saya orang yang kuat dan ceria, lalu kemudian di depan mereka saya menangis. Kalau ditampung bisa jadi satu galon sudah. Untungnya saya tidak mencoba menghitungnya, saya takut akan terkejut sendiri kalau perasaan diukur dengan angka.

Ini bagian dari hidup, pembelajaran, setelah ini saya akan lebih kuat. Iya, saya tahu itu. Dari awal juga saya tahu. Tapi rasanya tetap tidak enak. Saya ingat waktu TPB, ketika saya jatuh sampai kepala saya terbentur tanah, sesudahnya saya menangis lama karena merasa dilupakan oleh keluarga saya. Itu kali pertama saya menangis di depan orang banyak karena masalah pribadi. Saya kira itu akan jadi kali terakhir juga. Sampai kemudian saya menangis di kelas tanggal 15 Maret (iya, saya masih ingat tanggalnya), di lab, di depan sekretariat; sampai orang-orang di sekitar saya bingung dan hanya bisa memeluk saya sampai saya berhenti menangis. Kalau dipikir ulang lucu juga. Bagaimana trigger yang sama bisa memunculkan reaksi yang berbeda pada dua waktu yang berlainan.

Saya berusaha keras untuk lupa, tapi sepertinya semakin dipaksa saya justru semakin ingat. Padahal semuanya sudah kabur; dan saya tidak ingat lagi sebenarnya apa yang saya perjuangkan. Yang saya pahami sekarang adalah saya yang saat ini amat sangat lemah sampai membutuhkan sesuatu untuk menopang saya dan sampai saya menemukan kembali diri saya yang lama, saya tidak akan bisa bangkit. Ini perubahan yang lamban, saya tahu saya sudah mulai bergantung sejak Oktober tahun lalu. Dan memutar balik (apalagi ketika tidak ada check point-nya) segalanya untuk menemukan diri saya yang lama tidak bisa semudah itu.

Tapi saya mulai ingat mimpi-mimpi saya yang selama ini saya lupakan karena terlalu sibuk memikirkan orang lain. Saya pernah bilang saya takut dilupakan, tapi saya tidak sadar bahwa saya bahkan sudah melupakan diri saya sendiri. Saya ingin membahagiakan orang lain tapi saya tidak berusaha membahagiakan diri saya sendiri. Saya mendoakan kebahagiaan orang lain tapi saya tidak mendoakan diri saya sendiri. Lalu ketika saya menuliskan paragraf ini saya tiba-tiba teringat satu bait dari salah satu lagu Wicked (tidak relevan, tapi bagus untuk dikutip):


"Too long I've been afraid of losing love I guess I've lost

Well, if that's love, it comes at much too high a cost"

Ketika tidak ada orang yang berupaya membahagiakan saya; hanya saya yang tersisa. Kadang saya pikir saya sama seperti Tinkerbell, hati saya kecil dan hanya bisa menampung satu emosi pada satu waktu. Mungkin itu sebabnya saya bisa menangis di satu waktu dan tertawa keras di menit berikutnya. Saya biasanya terlalu bangga untuk mengeluh begini tapi kali ini saya bisa bilang, tugas saya untuk beberapa hari ke depan terlalu banyak; saya tidak yakin akan selesai walaupun saya mengorbankan waktu tidur saya. Saya stress dan saya ingin kabur tapi saya sudah terlanjur mengiyakan semua tugas ini. Dan saya masih punya keyakinan kalau segalanya akan selesai dengan baik pada waktunya. Meskipun saat ini saya agak panik dan tidak tahu harus melakukan apa (dan menulis ini semua tidak membantu, tapi saya butuh menyalurkan emosi saya).

"Apa yang nggak buat kamu?" | "Aku akan selalu ada buat kamu"

Jangan sembarangan mengatakan hal-hal kayak gini; ketika kamu nggak bisa nepatin ini semua akhirnya akan jadi kebohongan. Sekalipun saya merasa egois pada banyak kesempatan, menurut saya banyak orang yang sama egoisnya dengan saya. Walaupun saya sebenarnya tidak bisa menilai orang begitu saja; tapi sebenarnya saya kecewa ketika saya tidak mendengar permintaan maaf yang menurut saya seharusnya dikatakan pada saya. Tapi saya tahu saya tidak bisa mengekspektasi orang lain untuk bersikap sesuai dengan yang saya inginkan. Jadi walaupun saya mengeluh di sini, saya memarahi diri saya dalam hati karena lagi-lagi saya berharap pada orang lain. Pemikiran yang luar biasa bodoh. Saya masih berbenah diri tapi kalau sudah  menemukan diri saya yang lama, saya tahu saya akan jadi invincible.


Dengan berakhirnya tulisan ini saya memutuskan akan menjadi Elphaba.

Selamat tidur.

Oyasuminasai!

Leave a Reply