184

Kadang kupikir mungkin kita sama-sama rabun, tidak bisa melihat dunia dengan jelas, karena itu kita bisa membayangkan dunia sebagai tempat yang indah. Bukit hijau dan cahaya keemasan dan pesisir yang sepi dan banyak banyak kunang-kunang. Segala sesuatu yang bercahaya itu indah, mungkin karena kamu bilang sedang mencari sebuah lentera. Tapi kita bukannya tinggal dalam kegelapan, hanya menolak untuk membuka mata.

Suatu saat kita akan sama-sama terjatuh, buta, kemudian kita tersesat dan bumi tempat kita bermain menjadi satu labirin yang diciptakan memang untuk mengurung. Dan sampai akhir mungkin masih ada bisikan 'seandainya kalau saja', tapi yang kita gumamkan hanya sebuah lagu. Musik tentang suatu tempat entah di mana. Jauh.

183

Saya ingat pedihnya, ketika kamu memukul tembok dan yang bisa saya lakukan hanya diam dan melihat dari samping. Dunia menjadi hitam putih dan sesungguhnya saya lupa cara bernafas. Semuanya buram dan yang terdengar hanya tik-tok-tik-tok dari jam di atas kepalamu. 'Semua akan baik-baik saja', seperti mantra kita mengulang-ulang kalimat yang sama. Tapi saya tahu, seperti kamu tahu saat itu juga, bahwa tidak ada yang baik-baik saja. Karena ada yang memang tercipta untuk hancur. Seperti kamu dan saya.

182

“What is it like to be in love?” 

 “Free. It feels free, like there’s nothing that can stop me, nothing can hold me down. 
It feels as if I can do anything because of love 
and I’m free of the fear of failure because, 
even if I can’t do everything, 
at least at the end of the day, there’s still me and him. 
When all else fails, love won’t.”

(Reign on Me)

181

Jika disebut dalam berandai-andai, kalau saja memiliki arti harapan, andai saja seperti mimpi yang selalu muluk. Karena kenyataan tak bisa berubah hanya dengan kata, karena hujan tak bisa berhenti hanya dengan tatapan, dan karena jarum waktu tak punya belas kasih. 

Tempat kami berpijak runtuh.
Hancur.
Hilang.
Lebur.








180

Aku melihatmu dalam mimpiku semalam, ketika semua bermain dalam bisu dan yang bisa kulihat hanyalah bayangan semu di cermin. Kita duduk bersebelahan dengan kata-kata yang tak pernah keluar seperti semua orang lain yang ikut berperan dalam drama tanpa suara ini. Tapi tidak apa-apa, semua baik-baik saja; itu kata-kata dalam isyarat yang kamu berikan. Sampai aku membuka mata dan yang tersisa hanya tangan yang kosong.
Tuhan, bolehkah aku menangis bukan karenamu?

179

Waktu agaknya menipu, karena nyatanya satuan hari tak sama dengan satuan umur. Kemudian kita mengucapkan selamat tinggal; pada masa lalu, debu abu, dan semua hal yang fana. Kalau mau menangis, sekarang saatnya. Sebelum kereta terakhir berangkat dan yang tersisa hanya debu abu dan nada terakhir dari tiupan peluit.

178

Karena apapun warnanya, ada orang yang pernah menggoreskan warna di lukisan kehidupanmu. Walau pun jadinya hitam.

(kutipan dari seorang teman, dengan sedikit perubahan)

177

Malam ini tidak hujan, tapi mungkin kamu bisa dengar rintiknya. Laut kala itu tenang, tapi sekarang pun mungkin kamu masih dengar deru angin dan suara ombak yang menghantam pesisir. Kita menghentikan jarum yang berputar, seolah sosok yang lemah ini bisa berkuasa di atas waktu, mendulang kata yang terlanjur diukir.

Barangkali saja, malam ini hujan.


Atau setidaknya besok.



Atau mungkin besoknya lagi.

176

Kebetulan saja dua garis itu memiliki titik potong, meskipun ujungnya sama-sama tidak kelihatan dan eksponensial ke arah yang berlawanan. Hidup memang tidak akan pernah bisa digambarkan dalam ekuasi sederhana, karena bahkan persamaan garis yang paling rumit pun tidak akan bisa menjelaskan kenapa dua garis yang tampak berbeda bisa begitu serupa.

175

Dari 1000 janji, kita menuai kata-kata. Seakan menara yang kita bangun bisa mencapai matahari kalau kita letakan batu satu demi satu. Tapi kita bahkan belum setengah perjalanan ketika panas sudah terlebih dahulu meruntuhkan mimpi. Entah siapa yang menyerah terlebih dahulu, tapi kemudian kita menelantarkan segalanya dan hanya meninggalkan puing. Berserakan. Tapi tidak ada yang mau melanjutkan kembali.

174

Hobi saya mungkin mencari nama dari rasa. 

Tapi katanya tidak semua pertanyaan memiliki jawaban.

173

Dia naik takhta setelah memimpin seribu pasukan di medan perang. Panglima yang tombaknya menantang langit seperti menyatakan perang pada Atum-Ra sendiri. Kini kami memanggilnya Raja karena memang sejak beberapa tahun yang lalu dia berdaulat. Tapi dataran selalu jadi yang paling mudah bukan, yang mulia? Kelak ketika dia berhasil menaklukan langit, kami akan menyembahnya seperti Isis kepada Osiris.

172

Pertanyaannya selalu sama, kenapa kamu memilih kelabu? Kamu merah muda, kadang ditambah semburat kuning atau percikan biru, tapi kamu tetap merah muda. Lalu datang kelabu yang tumpah dan membuat segalanya mengabu. Tapi kamu tetap merah muda, meskipun kamu membiarkan kelabu menggenang.

Katamu kelabu itu baik.

Boleh jelaskan kenapa kamu membela abu?
Padahal kamu masih merah muda walaupun sempat mengabu.

171

Nostradamus, ceritakan pada kami dalamnya lautan yang perlu kami sebrangi. Kami perlu membangun kapal agar bisa sampai ke daratan harapan. Ceritakan pada kami tingginya langit dan apakah kira-kira sayap kami bisa mengantar kami ke Valhalla? Atau kalau tidak bisa, ceritakan saja apakah kampung halaman kami masih sama? Karena kami ingin pulang, tapi apa gunanya kalau semua sudah tak serupa? Karena kami ingin pulang, tapi untuk apa pulang kalau tempat kami sudah tak lagi terasa seperti rumah?

170

Kita sampai lupa cara tertawa
Lupa ada yang nyata
di tengah huru-hara
Kita sampai lupa akan ke mana
seolah jalan di sana sini belum terbuka
Tapi kita mengatakan sayonara
pada kelu dan beku yang pernah ada
Lalu kita tertawa
meskipun kita pernah lupa

169

Dia, Ekalaya,
memahat berhala Dorna
karena berbeda dengan si congkak
dia hanya perlu bayang-bayang
untuk menggenggam langit

168

Buah apel itu membusuk

Katanya ditinggali ulat
Setelah seminggu di keranjang akhirnya terlihat
Lubang menganga seperti ditusuk paku besar
Pertanyaannya apakah sudah ada waktu dipetik
atau baru ada ketika diletakan di atas meja?

167

Kami memanggilnya Raja
karena memang sejak beberapa tahun yang lalu dia berdaulat.

166

Pulang,
ke tempat yang langitnya merah muda.
Ingin pulang.

165

Aku menyukai ide bahwa aku memiliki dunia kecil yang sejatinya tidak bisa dimasuki oleh orang lain. Aku menerima tamu, namun hanya sampai selasar. Di sana delegasiku akan berbicara mengenai indahnya negeri kami; tentang birunya laut, manisnya jeruk, merdunya hujan, dan merahnya aurora di utara. Kadang aku akan membiarkan seorang tamu masuk, melewati gerbang Kerberos dengan cuma-cuma. Di dalam ia akan melihat bahwa di dunia ini juga ada jurang dan badai. Tapi negeriku ini sebanding dengan negeri Peter Pan. Di langitnya berterbangan ikan bersayap, di pohonnya tumbuh buah tujuh warna, dan sungainya mengalirkan lelehan cokelat susu. 


Di duniaku, semua orang bisa bermimpi.