dua belas

Menggelegak, begitu.

Ingin mengumpat, menjerit, meraung;
berkali-kali mengatakan bahwa dunia memang tidak adil bukan berarti menerima.
Terus berusaha menggapai mimpi,
namun hanya bisa pasrah ketika perlahan semuanya lebur.
Ketika satu demi satu menemukan jalan;
sementara diri terhenyak di depan buntu.
Ingin mengumpat, menjerit, meraung;
tapi daya untuk berusaha sudah lenyap.
Seakan bintangnya jatuh di sana,
sedang kau di sini.

Sebelas

Hal terburuk yang dapat terjadi adalah ketika kau menyadari bahwa apa yang selama ini kau genggam tidak nyata. Saat lantai tempatmu berpijak runtuh dan pilar yang menopangmu goyah. Putus asa mencari pijakan baru atau sekedar tali tempatmu bisa bergantung.


Semuanya mendadak surreal, dan kau mulai mempertanyakan batas antara kenyataan dan imajinasi. Karena tampaknya keduanya sudah bias, bercampur di dalam kepalamu. Ini sulit untukmu, terlalu sulit. Kau tidak tahu lagi harus bertumpu pada apa. Pada siapa.

Kau mencoba kembali pada mimpimu, berharap imajinasimu adalah kenyataan. Tapi kau tahu itu takkan terjadi. Jadi kau terpaksa melangkah dari lantai yang rapuh, mencari satu tempat yang bisa mengangkatmu.

Itu sulit, amat sulit.