Dunia kecil kami berguncang hanya karena sebuah mimpi. Mendadak kami terbangun dan dihadapkan pada kenyataan yang ternyata membawa hujan ke dunia kami. Hari ini langit di atas kami mungkin kelabu, padahal kami mengecatnya merah muda kemarin. Kami meletakan banyak bintang malam sebelumnya, tapi seperti disiram air bah mereka lari serabutan. Kami meminta matahari bersiaga, agar menyulap siang yang tak pernah berakhir, tapi ia tenggelam bersamaan dengan datangnya bayangan.
Selama satu menit ke belakang dan dua menit ke depan saya marah,
sampai saya ingat kalau sebenarnya tidak ada yang berubah,
sampai saya meyakinkan diri saya kalau saya tidak punya alasan,
sampai saya tidur nyenyak dan bisa terbangun dan menertawakan
apapun yang akan saya impikan malam ini.
Selamat tidur semuanya,
selamat tinggal April!
Saya sedang menulis sebuah lagu
Tampaknya aku sangat suka akhir
Entah antipati pada kekekalan
Ketidaksukaan pada selamanya
atau kesetiaan pada realita
tapi aku hanya bisa jatuh cinta pada sesuatu yang memiliki akhir
Hari ini si matahari mendatangi saya, dengan cengiran luar biasa lebar dan wajah bahagia seperti baru menang undian semilyar. Dia tidak membawa kabar baik, memang ekspresi defaultnya begitu. Hampir dua tahun yang lalu juga dia pernah mendatangi saya dengan ekspresi serupa, bercerita soal dunia di bawah laut dan pertempuran suku indian di seberang lautan. Saat itu saya mengangguk-angguk dan berpikir, ada juga mahluk aneh begini. Sampai sekarang saya masih takjub.
Lambat laun kita mulai alpa,
seperti orang yang mulai mendekati ajal,
meskipun tanpa uban dan kerentaan.
Bukankah impian banyak orang untuk berkata,
persetan dengan dunia,
persetan dengan prinsip,
saat ini saya bahagia,
dan saya masih ingin menggenggam kebahagiaan ini
apakah saya masuk dalam kategori banyak,
saya belum tahu.
Saya memberikan kutukan pada orang-orang di sekitar saya; barangkali buruk bagi beberapa orang, kali saja berkah bagi orang lain. Saya mengutuk mereka agar tidak melupakan saya, agar memori mereka akan saya tidak akan pernah hilang. Saya bukan penyihir limbah, tidak bisa menggerakan kastil mengelilingi dunia, tidak bisa menangkap bintang jatuh juga (nama saya juga tidak terdiri dari empat huruf dan diawali dengan huruf H), tapi kutukan saya lebih kuat dari Maleficent. Oh, saya yakin anda juga ingat sekarang, bahwa saya pernah memberitahukan sebuah rahasia pada anda. Sampai saat ini, apa rahasia itu masih anda jaga?
Di puluhan kilometer antara Bogor-Bandung, saya baru sadar bahwa saya kehilangan kunci. Ruangan tempat saya menumpukan ribuan mimpi saya tidak lagi bisa dibuka. Saya mungkin harus menunggu sampai kunci penggantinya selesai, tapi selagi menunggu, mimpi saya tersegel rapat-rapat. Apa enaknya hidup tanpa mimpi?
Saya sedang membutuhkan orang-orang dengan aura positif dan yang pertama kali terlintas di pikiran saya si matahari. Walaupun frekuensi saya melihat dia sekarang bisa cuma sekali tiap dua minggu (itu saja sudah beruntung) tapi cahayanya sangat silau sampai saya bisa buta beberapa hari.
Tapi kalau bicara tentang si matahari, jadinya tidak bisa dipisahkan dengan si titanium. Mengutip kata sebuah buku, titanium itu kuat, tahan banting, dan classy. Titanium adalah salah satu orang yang mengenal si matahari dari awal, padahal saya tidak pernah bercerita apa-apa.
Kedua-duanya luar biasa; matahari yang tak pernah terbenam dan titanium yang tahan banting. Saya ingin lebih bersinar seperti matahari dan lebih tahan banting sekuat titanium. Mungkin kalau bertemu mereka lagi saya akan meminta saran agar bisa jadi seperti mereka.
Sole, si matahari, sudah lama tidak kelihatan. Memang kami tinggal di dunia yang berbeda, jadi tidak mengherankan kalau ia jarang muncul. Tapi sekali-kali aku mengintipnya dari jendela dan dia masih bersinar dengan terang sehingga aku jadi ikut berpendar.
Heran aku, ternyata ada juga orang seperti dia. Sang pencipta pasti membentuknya dengan penuh cinta hingga ia bisa selalu terang begini. Memang kami tinggal di dunia yang berbeda, tapi ia tidak pernah enggan berbagi cahaya. Padahal sudah menahun aku mencuri sinarnya, namun ia tetap saja begini.
Kemarin saya berbicara dengan seorang teman yang memiliki pemikiran yang sama dengan saya setahun yang lalu. Topiknya mengenai manusia dan betapa sesuatu yang kompleks sebenarnya hanya terlihat seperti itu dari luar, sedangkan di dalamnya tidak lebih sulit daripada menjumlahkan dua bilangan satu digit. Saya jadi ingat ketika dunia terlihat tidak lebih sulit daripada bermain gundu, ketika saya punya sejuta pertanyaan dan dunia memberikan milyaran jawaban yang semuanya masuk akal. Barangkali saya seharusnya lebih lama berbicara dengan teman ini.
Saya kagum pada seorang yang bisa mencinta dalam diam. Memberikan dukungan tanpa syarat, peduli tanpa memaksa, dan selalu ada tanpa meminta.
Saya hanya si muram yang masih ceroboh dalam hidup. Sampai nanti juga barangkali saya akan terus melakukan kesalahan dan tak pernah menunjukkan penghargaan pada anda. Tapi dalam hati saya akan selalu kagum. Salute!
Saya tak pernah mengerti kenapa dinamai komidi putar
Di daratan tempat kami tinggal, tiap rumah dihubungkan dengan jembatan pelangi. Walaupun kami bukan leprechaun, kami menyimpan emas di ujung pelangi masing-masing. Barangkali tidak satu baskom, mungkin kadang hanya satu keping. Inilah cara kami memberikan salam, karena brankas tak selalu aman dan kami saling percaya. Tapi jangan kau ambil tanpa izin walaupun niatmu meminjamnya hanya untuk satu menit. Kami cinta emas dan hukuman bagi pencuri adalah pengasingan yang amat sangat lama.
Kami melayangkan sebuah surat kaleng
Scheherezade ajarkan kami untuk bisa bersabar,
Saya sakit. Mungkin sakit jiwa. Karena orang yang bisa terus tersenyum selagi menangis mungkin jiwanya tercabik-cabik. Atau sudah mati. Saya sakit. Katanya sih sakit jiwa. Karena katanya orang waras tidak ada yang berharap mati. Saya sakit. Sakit jiwa.
Beban kamu nggak lebih berat daripada bebanku,
hanya saja aku membawanya dengan hati
dan kamu membawanya dengan keluh.
Tapi sampai akhir kamu masih belum sadar,
kalau bukan cuma kamu saja yang berusaha keras.
Aku enggan menegurmu
meskipun kupikir kamu konyol.
Entah apakah aku terlalu baik karena
tidak ingin membuatmu merasa tidak enak,
atau terlalu bodoh karena akhirnya
jadi uring-uringan sendiri.
Tidak usah bersikap seolah peduli
kalau kamu tidak peduli.
Sumpah, saya benar-benar peduli.
Tapi saat ini saya lelah.
Seorang teman berkata bahwa kebahagiaan akan didapatkan setelah kau jatuh, dan baru ketika kau jatuh kau akan merasa bahagia. Tapi sampai kapan saya harus jatuh? Ini lubang tak berdasar dan selama apapun saya jatuh, saya tak juga mendarat di Wonderland.
Dunia ini tandus dan oase yang muncul sekali-kali dalam fatamorgana tidak akan bisa menggantikan laut yang sebenarnya.
Kami bersama-sama menyilangkan jemari dan berharap yang terbaik.
Karena para pelaut tersesat di tengah samudera.
Karena para pemimpi kehilangan arah.
Karena rasi kehilangan inti.
Karena dunia kehilangan pusat revolusinya.
Dan karena langit tak lagi indah.
Kami pernah percaya pada bintang jatuh. Mengimaninya seperti kepastian bahwa matahari akan terbit dari timur, ia akan kembali bersinar setelah menuntaskan misinya.
Namun cahayanya tak pernah seterang dahulu. Atau mungkin itu hanya kepada kami yang membiarkannya jatuh sendiri.
Kami pernah punya bintang yang bersinar paling terang di langit barat. Malam semakin panjang dan ia tetap menjadi pusat dari revolusi dunia Kami percaya pada bintang seperti kami percaya pada malaikat.
Lalu ia jatuh.
Dan kami memanjatkan doa.
Seperti orang suci kami mengangkat tangan dan memohon. Menggumamkan permintaan yang barangkali menorehkan luka.
Katanya, bintang jatuh akan mengabulkan permintaan.
Ketika saya bilang ingin mati, seorang teman marah.
Katanya topik kematian bukan guyonan yang bisa disampaikan dengan mudah.
Tapi siapa bilang itu guyon, barangkali itu serius.
Tapi siapa yang bisa percaya?
Bukan kamu atau dia atau aku.
Aku tidak mempertanyakan alasan, karena rasanya seperti mempertanyakan takdir dan bukankah manusia itu hanya satu sosok kecil di tengah luasnya bimasakti? Siapalah aku (hanya orang yang tersesat dalam ekuasi-mu).
#001
Saya kangen masa ketika saya bisa ngobrol hal yang paling nggak penting di tengah malam. Masa ketika saya bisa menghubungi kamu tanpa perlu berpikir banyak-banyak, tanpa perlu ragu-ragu karena takut kalah kehadiran saya nggak diinginkan.
#002
Saya kangen masa ketika saya bisa datang ke sebelah kamu dengan natural. Karena saya tahu kamu nggak akan keberatan dan karena bersama kamu itu menyenangkan.
#003
Saya kangen masa di mana saya bisa ngasih tahu semua kekhawatiran saya. Ketika saya nggak perlu menderita sendirian karena saya tahu kamu sepeduli itu.
#004
Saya kangen masa ketika saya bisa bercerita tentang mimpi saya. Karena katanya Pisces itu paling imajinatif, dan nyatanya saya memang punya banyak mimpi itu untuk diceritakan. Dan saya juga ingat mimpi-mimpi kamu. Ada waktunya saya berpikir kalau mimpi-mimpi itu bisa kita capai bersama.
#005
Saya kangen diri saya yang nggak perlu meyakinkan diri sendiri bahwa hidup itu indah, karena pada waktu itu hidup itu memang indah.
#006
Saya bosan menangis.
#007
Saya kangen jadi bagian dari hidup kamu.
Aku menghitung kadar hidupku dalam sebuah toples, satu
butiran merah muda untuk senyum, dan satu butiran
biru untuk air mata. Akhir-akhir ini hanya warna biru yang kumasukan, sampai
kupikir seharusnya toples itu tak lagi bisa
menampung butir.
Tapi tiap kali kuangkat toples itu, ternyata
isinya masih setengah penuh. Dan warnanya
masih didominasi merah muda. Tampaknya setengah tahun merah muda,
masih kalah dibandingkan pilu tiga setengah bulan.
Bolehkah kami hancur,
luruh sampai tinggal gaung,
karena tampaknya untuk saat ini
hanya itu yang bisa kami lakukan.
Masih tak bolehkah kami hancur,
lebur sampai tinggal gaung,
karena tampaknya kalau bertahan hidup
kami hanya jadi selongsong kosong
yang lupa warna.
Kenapa kami tak boleh hancur,
lenyap sampai tinggal ingatan,
kalau kau bahkan tidak memberi alasan agar kami bertahan?
Aku berharap tak pernah jatuh kalau tahu kelamnya,
aku berharap lupa setelah tahu gelapnya.
Tapi aku tahu terangnya meskipun kini padam,
meskipun sumbunya sudah habis terbakar
dan yang tersisa hanya malam yang panjang.