Scaramouche

Orang bilang dia tidak sensitif.
Manusia yang tidak peka pada keadaan.
Mahluk yang tidak bisa bersosialisasi.

Ia sempat berpikir begitu, karena orang mendoktrinnya untuk begitu. Apa yang terjadi, ia tidak tahu. Bagaimana perasaan yang itu, ia tidak tahu. Apa orang itu marah padanya, entahlah. Apa ia menyinggung orang barusan, mana ia tahu. Ada orang yang menyukainya, bagaimana ia tahu kalau orang itu tidak bilang? Sayang.

Padahal, dia itu yang peka.

Ia tahu menyinggung, dan itu sebabnya ia diam. Mencegah keluar perkataan yang semakin memperburuk. Orang itu marah, dan ia melengos seakan tak peduli. Karena dalam hati ia juga marah, dan untuk apa meredakan kemarahan orang lain di saat ia sendiri masih bergejolak? Orang itu terlihat sedih, ia pura-pura tidak tahu. Bukan tidak peduli, hanya menunggu sampai orang itu membuka diri. Daripada ia berucap salah dan menabur garam di atas luka. Ada sosok lain tertawa bahagia, ia hanya mengangguk. Tidak ingin merusak kebahagiaan dengan ucapan yang salah. Ada yang menyukainya, ia pura-pura tidak tahu. Karena ia ingin mendengar ucapan itu terdengar, bukan sekedar perasaannya. Yang lain membencinya dan ia tersenyum. Dalam hati berbisik:


Persis, aku juga benci padamu.


White Rose

Which rose do you prefer?
The red one? or the white one?

I pick the white one.


...artinya masokis.


Harusnya dia tahu. Menyengsarakan diri sendiri, sengaja melaparkan diri ketika emosi memuncak. Seperti buruh yang mogok makan saat berdemo. Mencoba membanting satu barang, mencoba membanting pintu, akhirnya toh tidak dilakukan. Tidak ingin menimbulkan keributan atau kerusakan. Akhirnya merusak diri. Mengurung diri seharian, dengan musik volume maksimal. Ditemani secangkir air putih yang habis dalam sepuluh detik. Berapa jam lewat sudah. Kelaparan. Namun tetap bertahan. Seperti rasa itu satu-satunya yang bisa menemani. Dia masokis--apa lagi artinya?

Bleu de France

Ada seseorang yang kubenci.

Dia manis, perhatian, dan sopan. Dia sebaik-baiknya seorang laki-laki, seorang yang tampak sempurna dimataku. Terlalu sempurna, dan aku membencinya. Aku benci bagaimana setiap dia menyapa aku dibuatnya merasa bahagia. Aku benci bagaimana aku merekam tiap pembicaraan dengannya di kepalaku, mengingat tiap detil yang ia ceritakan mengenai dirinya. Aku benci dengan perhatian yang diberikannya padaku, kata-katanya yang mengingatkanku akan kewajiban dan hal yang harus kulakukan untuk menjaga diriku.

"Udah malem, besok sekolah kan? Nggak tidur?"

Aku benci pada kalimatnya yang memberikan inspirasi, mengajarkanku bahwa manusia tidak sempurna dan bahwa meragukan kenyataan itu tidak salah. Aku benci bagaimana dia selalu membuatku tertawa dengan candaannya meski aku berada dalam mood seburuk apapun. Aku benci melihat kebaikannya, yang tidak diberikan semuanya utuh kepadaku melainkan dibagikan sama rata pada semua orang. Aku benci melihatnya dekat dengan orang lain, mendengar cerita apa yang ia lakukan bersama orang lain. Aku benci bagaimana ia membuatku menangis dengan kebohongannya. Aku benci pada hal-hal yang ia lakukan, yang bisa membuatku memaafkannya untuk kesalahan seperti apapun. Aku benci padanya, yang membuatku berharap akan sesuatu yang lebih.

...dan aku benci, bagaimana aku mengingat kebelakang. Membuka lembaran arsip lama, hanya untuk menuliskan sesuatu tentang dia.