54: J

Tuan Awan,
cuma perlu duduk diam,
tersenyum sedikit,
dan dia
sudah terlihat
lebih dari sempurna.

53

Sekarang memang bukan waktu yang tepat untuk membentuk kombinasi satu-dua, secara dia sibuk memahat sedang kau sibuk menulis. Kuncinya memang kesabaran, kali saja dalam satu-dua minggu kalian dipertemukan dalam ilustrasi cerita. Memang tidak ada yang pasti, karena mungkin nanti kalian berseberangan jalan alih-alih berdampingan; tapi bagaimanapun, yang namanya harapan itu ada.


Sekarang memang bukan waktu yang tepat untuk mengail, tapi waktunya akan tiba. Nanti, suatu saat.

52: D

Rasanya menulis tentangmu tidak pernah cukup berapa ribu kata pun. Terus berubah-ubah seperti air, membuatku bingung menentukan wujudmu yang sebenarnya. Kadang mengalir hangat, lain kali kaku dan dingin.


Hanya satu saja yang tetap sama. Bagaimanapun wujudmu, kau selalu mengalir deras membawa kapalku ke tengah samudera. Sampai pada tahap di mana di sekitarku hanya ada kamu. Segalanya terlupakan dan aku hanya melihatmu saja, hanya menyebut-nyebut namamu.

Hingga sampai di pelabuhan, aku meninggalkan laut tanpa melihatmu barang sekali lagi. Tapi kau bisa yakin bahwa aku seperti pelaut yang merindukan debur ombak. Pergi kemanapun, gunung atau dataran, tetap saja inginnya kembali berlayar.

51: J

'Selamanya', adalah kata yang terlalu tinggi. Seperti keabadian, semakin dikejar justru semakin terperosok dalam ketiadaan.

Bosan itu bukan sesuatu yang mudah ditaklukan, pada satu titik, semua orang pernah merasakannya. Dan diantara rasa bosan pada selamanya, mungkin ada jalan baru yang bisa tercipta. Hanya minoritas yang tetap diam di tetap, menatap nanar orang-orang yang menyebrang.

'Selamanya' adalah kata yang penuh janji manis, namun sebenarnya menyedihkan. Karena di dunia ini tidak ada yang abadi, bukan? Siapalah kita, merasa seperti Tuhan, menjanjikan sesuatu yang begitu besar; menawarkan seluruh waktu di dunia.

'Selamanya' terlalu berat, tidak ada yang bisa menopang beban dari sebuah janji yang diluar kuasanya. Tapi biarpun aku tak bisa menjanjikan 'selamanya', setidaknya aku yakin aku bisa menjanjikan 'sampai akhir'.

50: D

Yang namanya cinta itu, datang tanpa diundang. Sejenak saja berpaling, dia sudah tiba tanpa suara. Bahkan di saat kau kira dia sudah pergi (tanpa meninggalkan sisa), seperti hujan saja di kembali menerpa. Menggenang, membasahi lagi ranah yang sudah kau keringkan.


Tapi sekalipun kehadirannya tak kau harapkan (tak kau tunggu, tak kau inginkan juga), dia tetap menyisakan embun di atas daun yang kau suka. Cukup dengan kehadirannya, bumi yang kau pijak luruh menjadi abu. Dan pada saat itu kau kesulitan menentukan mana hati dan mana logika, Karena keduanya buta, dan insting yang ada hanya berusaha menggapai.

49: A

Waktu itu musuh manusia, semakin berkuasa semakin dekat ke garis akhir. Mau meronta atau memohon juga, arusnya tak pernah mendengar kata (tak pernah berbelas kasih). Waktu itu musuh ingatan, semakin jauh berjalan semakin susah kembali. Dan pada satu waktu, mungkin semuanya akan membaur menjadi sebuah rasa samar yang tersisa di sudut hati.


Setidaknya, itu definisi waktu dalam kamusku sewaktu revisi masih sekedar wacana.

Kemudian di suatu pagi, kau kembali. Dan mungkin saat itu aku sadar bahwa waktu tak pernah berada di pihak lawan; karena hari itu kau merombak definisiku tentang waktu.

Garis akhir itu sirna tatkala kita berbalik dan menjadikannya garis awal. Rasa samar itu kembali menampakan keseluruhannya ketika matahari terbit dan menghapus bayangnya. Dan waktu tak pernah kejam, tak pernah. Karena ketika kau muncul kembali di pagi itu, kau masih sempurna. Seakan deru waktu tak pernah berpengaruh padamu.

Atau mungkin tidak.

Karena seingatku, kau tak pernah terlihat lebih baik dari pagi itu.

48



"I will not promise you
If I knew i was going to waver, even for a little bit"

(Today More Than Yesterday - JK)




Tonight I Can Write the Saddest Line

Tonight I can write the saddest lines,
I no longer love her, it's true, but perhaps I love her.
Love is so short and so long to forget.
Even if this is the last pain she causes me
and these are the last verses I write to her.


(Pablo Neruda: Tonight I Can Write the Saddest Lines)

47: D

tidak kondisional,

tanpa syarat;
jadi kau mau jatuh atau melambung,
kau berbisik atau berteriak,
sama saja.

kau tak sempurna, jauh dari itu. tapi begitu congkak, seperti cenderawasih, kau melebarkan ekormu. seakan kau pusat gravitasi. tapi biar kau berlari tanpa arah sampai ujung bumi sekalipun, nantinya kau bisa mencariku di garis awal. karena ini definisiku tentang tanpa syarat.

46: D

Dia adalah seorang realis yang dibungkus oleh tawa ringan dan sejumput gurauan,

datang dengan warna kuning terang (dan senyum lebar),
dan pergi sesunyi bintang jatuh.
Ia berkata banyak, namun sedikit yang dimaksud;
bukannya omong kosong,
hanya sedikit asal.
Dan itu agak manis,
(sebenarnya).
Dia,
menunjukan perhatian dengan caranya sendiri,
seperti menahan diri,
namun,
begitu.
Aneh,
tapi menarik.