Jump Then Fall


I like the way you sound in the morning
We're on the phone and without a warning
I realize your laugh is the best sound
I have ever heard

I like the way I can't keep my focus
I watch you talk, you didn't notice
I hear the words but all I can think is
We should be together
Every time you smile, I smile
And every time you shine, I'll shine for you

(Taylor Swift--Jump then Fall)



quote this song's lyric once again because this song is simply beautiful.


dua puluh enam

Aku bernyanyi tentang kisah yang tertimbun di bawah tabir memori,

tentang kisah kita yang meniti butiran dalam jam pasir.
Kisah yang tidak seironis Romeo dan Juliet,
tidak semanis Orpheus dan Eurydice,
tidak juga bersejarah seperti Antoinette dan Fersen.

Tapi ini kisah kita, yang lebih berharga dari semua cerita di dunia.

Di mana lagi ada kisah pertemuan yang lebih unik daripada kita,
aku yang mengagumimu karena kau yang serius mengerjakan ujianmu di saat semua orang mengandalkan orang lain.
Tidak ada yang lebih manis, daripada saat kau menelepon rumahku
dan berkata 'aku sayang kamu' dan kemudian memutuskan panggilan begitu saja.

Di mana lagi ada kisah tentang seorang yang seperti dirimu,
yang diam ketika aku menangis frustasi namun tetap menjadi pilar untukku berpegangan.
Hanya sebuah kisah pendek, di mana kita duduk bersebelahan sampai bahu bersentuhan,
tersenyum simpul tanpa memandang satu sama lain.

Ya, aku menyanyikan sebuah lagu tentang kisah cinta yang pudar seiring zaman,
tentang kisah kita yang menyambung takdir dengan asa semata.
Bukan kisah yang sesedih Sigurd dan Brunhilde,
tidak akan semagis Aurora dan Philip,
juga tidak seindah Cleopatra dan Julius.

Tapi ini kisah kita, dan kisah ini jauh lebih berharga dari semua cerita di dunia.

dua puluh lima (J)

Biasanya, biasanya, orang mendeskripsikan seorang yang spesial dengan bintang atau matahari, mungkin bulan, bisa juga pelangi.



Tapi kamu nggak bersinar di tengah kegelapan seperti bintang, nggak secantik mereka juga. Bintang itu spesial, menunjukan jalan pada para perantau, simbol sebuah harapan di tengah gelap. Kamu, jangankan memberikan harapan, berapa kali aku melihatmu terpuruk dalam putus asa?

Matahari itu penuh kuasa, kuat dan memberikan semangat pada orang lain. Sedang kamu lemah, jangankan semangat, meyakinkan dirimu kalau kau itu bagus saja sudah susah. Sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan matahari.

Mungkin kamu lebih seperti bulan. Kelam dan kadang suka bersembunyi. Tapi kamu nggak seindah bulan, nggak semistis itu juga. Kamu lebih membosankan, tanpa ada kesan misterius atau semacamnya.

Pelangi? Kamu nggak semanis itu. Perlambang akhir yang manis setelah hujan lebat, tapi ini bukan deskripsi yang cocok untukmu. Kamu sulit berkata-kata, sulit menyampaikan maksud, sepertinya sangat sulit untukmu mengejar garis finish. Bagaimana mau jadi akhir yang manis kalau begitu?


Tapi tahu tidak, kamu selalu ada. Di malam hari ataupun siang hari, di saat cerah ataupun saat badai. [Seperti awan]. Kau tidak perlu bersinar untuk jadi spesial, tidak perlu jadi indah atau misterius juga. Karena kamu, ya kamu. Selama kamu ada di sini, kamu tetap spesial. Tetap yang paling indah.

dua puluh empat

Kamu mengulurkan hatimu dengan kedua tanganmu. Sebuah hati yang berlubang, rusak sana-sini dengan lelehan kebencian menodai sisinya, berkarat dan penuh duri seperti pagar rumah tak berpenghuni. Kamu menyerahkan hatimu, hati yang penuh luka dan lebam habis terjatuh, yang habis direndam asam dan melepuh dalam api.


Seperti seorang profesional saja, dia meraihnya ke dalam dekapan. Dengan lihai membalut hati itu, yang berderak dan merintih. Dengan gulungan perban dan antiseptik. Dia membetulkannya hingga suara-suara berderik itu hilang, berbekal sepasang obeng dan linggis.

Seperti sihir saja, dia menyentuh hati itu. Dengan mantra yang mengalun indah dan sinar warna-warni yang memenuhi ruangan. Mencucinya dengan madu dan membilasnya dengan cokelat susu. Membungkusnya dengan lima belas bintang, sepasang pelangi, selusin bulan, dan segenggam awan.

Dan saat ia menyerahkannya padamu, hatimu sudah berdetak lagi.

23

Katanya kau si terkail, menjelma dari balik gemuruh petir di penghujung April. Megap-megap ketika seorang mengangkatmu. Lompat tinggi namun meragu.


Biasanya kau berenang bebas, menyusuri sungai sampai samudera luas. Satu waktu kau masuk jala, panik akan masa depan hingga rasanya ingin mati saja.

Katanya kau si pelupa, muncul perlahan dari bawah tirai nestapa.

Katanya kau si matahari, lahir dari riak buih di laut kami. Inginmu lepas kembali ke rumah, menolak segala ramah tamah.


Katanya kau si terlupakan, menjelma dari balik nyanyian bintang di penghujung bulan.


22



Langit merah muda. Itu pintamu waktu itu, ketika kita bicara soal tingginya mimpi dan bagaimana cara kita menggapai awan. Kau ingin langit bewarna merah muda, warna kesukaanmu. Seperti anak kecil pikiranmu itu. Imajinasimu selalu terlampau tinggi, selalu membawaku ke tingkatan teratas mimpi, saat aku akhirnya mengesampingkan kenyataan untuk berbaring dalam mimpi bersamamu.

Kadang aku merasa takut. Kau membawaku terbang begitu tinggi sampai aku takut akan terjatuh dan mati. Aku takut kau akan membawaku terlalu dekat dengan matahari sampai sayapku meleleh seperti Icarus. Kau terlalu indah, terlalu tinggi. Dan kau membuatku takut.


Aku tidak ingin berada dekat denganmu.


Dia berbeda denganmu. Dia seorang yang realistis dan membawaku dalam jalur yang benar. Tiap aku bicara dengannya keyakinanku tumbuh dan hei, aku merasa (untuk pertama kalinya sejak entah berapa lama) aku ini manusia. Punya batasan yang tidak bisa ku lewati tapi itulah kita bukan? Manusia yang tidak sempurna.

Dia berbeda denganmu. Dia menerima batas-batas yang kumiliki dan membuatku merasa aman di tanah. Berbeda denganmu yang membawaku ke atas awan, dia mengajakku menjejak tanah. Duduk di bawah rindangnya pohon dan bermain dengan genangan air sehabis hujan. Dia tidak sempurna, begitupun aku. Kami hanya dua orang manusia yang memiliki kelemahan. Kami hidup begini, tanpa terikat takdir maupun karma.



'Aku tidak ingin bersamamu lagi,' kataku padamu akhirnya, 'kau terbang terlalu tinggi. Aku benci ketinggian.'

Kau marah, aku bisa melihatnya. Kau kecewa, kau sedih. Namun aku tidak ingin tinggal di langit saat aku merindukan bumi. Maaf. Kau mencoba untuk tertawa namun langit berbicara untukmu. Rintik hujan turun perlahan dan kuakui pada saat itu ada sedikit bagian diriku yang ingin tetap bersamamu. Tapi pada akhirnya aku membalikan tubuhku, enggan kembali terbang.


Dia sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Senyum cerah dan menyejukan seperti embun pagi. Tangannya dingin seperti batu. Dan suaranya halus seperti gemerisik dedaunan di siang hari. Dia membawaku keliling dunia, menjejak tiap jengkal tanah dengan ceria.

Ini realita yang kuinginkan. Sungguh.

Namun aku heran kenapa tiap hujan datang, aku menemukan diriku menatap awan. Bertanya pada diriku sendiri apa kau yang sedang menangis di atas sana?


Entah sudah berapa lama mendung di atas bumi. Tiap aku melihatmu matamu selalu merah dan kau semakin kurus. Kau tidak lagi terbang dekat dengan matahari, kau selalu mengambang di permukaan seakan mencari sesuatu yang hilang di bumi. Akukah yang kau cari? Tapi aku tidak ingin kembali ke atas sana.



Hidup itu seperti roda, ada kalanya kita di atas ada kalanya kita di bawah. Hari bergulir dan mendung perlahan sirna. Aku takut. Tapi kali ini rasa takut ini berbeda. Hari kembali cerah berarti kau akan kembali ke langit. Dan aku tidak ingin kau pergi.

Tapi kau pergi. Seindah pelangi, kau berlalu pergi. Tanganmu menggenggam tangan orang lain. Bahumu dirangkul oleh orang lain. Dan rasa apa ini yang menggelegak di dalam diriku? Bukankah harusnya aku yang ada ditempat orang lain itu? Aku yang seharusnya berada di sisimu, menemanimu menyusuri awan di atas tujuh samudera.


'Jangan pergi,' kataku padamu akhirnya, 'tinggalah bersamaku di sini.'

Kau menggeleng, seperti mengasihaniku. Tapi kau tidak mengatakan apa-apa. Kau tidak berkata tidak. Dan aku merasakan harapanku melambung sekali lagi.

'Tinggalah bersamaku. Atau kalau tidak, bawa aku bersamamu.'


Kau pergi. Tanpa berkata apa-apa lagi kau pergi. Seperti pelangi yang cepat muncul dan cepat hilang, harapanku sirna ketika kau berbalik. Di atas sana kau bermimpi, di bawah sini aku terhempas realita. Aku mengais tanah, mencari sayap bekas untuk kembali bersanding denganmu. Pada akhirnya tinggal menjejak bumi pun tidak luput dari takdir dan karma.

'Tunggu, kumohon,' pintaku lagi, 'aku sayang kamu, sungguh.'

Kau tersenyum. Bukan seperti sinar matahari yang hangat, senyummu seperti kelabu yang mengisyaratkan hujan untuk datang. 'Terlambat, sudah sangat terlambat.'



Di atas sana tempat kita dulu bermimpi, menyentuh awan dengan ujung jemari. Di bawah sini aku mengubur diri, bernyanyi pilu untuk pemakaman mimpiku. Di bawah sini aku tertidur, tanpa mengenal mimpi dan harapan, hanya terkubur di bawah takdir dan karma. Mulutku terus bicara, seperti melantunkan mantra berulang-ulang, 'aku sayang kamu, aku sayang kamu.' Tapi kau tidak mendengar.

Karena kau jauh di atas sana,
sementara aku terkubur di sini, di bawah takdir dan karma.


21

#writing session: happy




Kita menanti langit kembali biru muda. Duduk-duduk di atas atap dengan setumpuk kartu remi dan sepiring sosis bakar separuh kosong. Sekarang sunyi, semua sudah lelah berkata. Serak suara setelah bercengkrama. Lama, terlalu lama. Untuk terakhir kali kah? Katanya dunia akan berakhir besok.

Deskripsikan hidupmu, dalam satu kata. Satu kata saja, sebagai hadiah perpisahan.

Murung. Bewarna-warni. Sedih. Indah.


Kau tertawa, masih, meskipun dalam hitungan jam kau akan lenyap. Hidup itu pilihan, kau berkata bijak seperti mengutip perkataan dari buku sastra, Sedih itu pilihan, bahagia itu pilihan. Hidup hanya rangkaian hasil dari pilihan-pilihan yang kita ambil.

Semua memandangmu seperti kau gila, masih mencoba berfilsafat saat umur sudah di ujung tali. Kita akan mati. Tapi sampai akhir pun kau masih tersenyum. Kutanya padamu kenapa bisa?

Ini pilihan lain yang kuambil, katamu, sebuah pilihan untuk melihat hal-hal positif di atas yang lain. Tidak mati sendirian, itu perlu disyukuri. Masih memiliki orang tua sampai akhir, itu juga harus diingat. Masih hidup begini. Lebih baik dari mereka, yang sampai akhir tidak memiliki orang tua dan atap untuk berteduh. Lebih baik dari mereka, yang sampai akhir tidak melihat indahnya bintang atau mendengar gemersik dedaunan.

Kita akan mati.


Kau seakan belum mengerti arti dari kalimat itu.

Hanya tersenyum seperti orang gila.


Ingin bertemu Tuhan, katamu, berterima kasih sudah memberikan kehidupan yang luar biasa. Lah. Apanya yang luar biasa, hidupmu biasa saja. Tidak ada bedanya denganku, dengan yang lain. Kau bilang, lihatlah lebih teliti, ada banyak hal kecil maupun besar yang patut disyukuri, Tuhan amat mencintaiku.


Kita akan mati.

Dan kita menantinya dengan senang hati. Dengan satu pak kartu remi dan piring kosong.

Hey Stephen

I could give you fifty reasons why I should be the one you choose
All those other girls, well they're beautiful.

But would they write a song for you?

(Hey Stephen, Taylor Swift)

Not Much But Enough



I told my self that it's okay.
'It doesn't matter, it's not like I care anyway.'
Who am I kidding, really.
It's kinda pathetic and lame.

I really don't have a reason,
to check my inbox every five seconds.
I really don't have a reason,
to waiting for your call every night.
Just for a simple line like, 'hey watcha doin'?'
But too bad I'm doing it now.

Cause you know, I kinda like you.
Just a little bit.
But enough to mess my head.
Just a tiny part of me.
Not much,
but just enough.
(DPP6)


dua puluh (A)



You're worth the risk, I guess.



Sembilan Belas (A)

Entah kau sadar atau tidak, caraku menarik perhatianmu dengan selalu mengajakmu bicara--untuk hal sekecil apapun, atau caraku berdiri dekat denganmu supaya kau menyadariku, atau mungkin, bagaimana mataku selalu mengikutimu, dan bahwa sosokmu adalah yang paling pertama kucari tiap kali aku memasuki ruangan. Namamu adalah yang paling sering kusebut dalam sehari. Entah kau sadar atau tidak.


Kupikir aku melihatmu melakukan hal yang sama. Kau menatap mataku, kau berdiri dekat denganku, kau duduk menemaniku, kupikir mungkin kau juga berusaha melakukan hal yang sama. Mungkin.

Entah memang benar, atau harapan membuatku delusional.



Either way, I'm not giving up.

Enigma: A

You're enigma, really.



Aku tersenyum, berjalan bolak balik, membantumu ke sana-sini, tetap saja kau acuh tak acuh. Lagakmu seperti kau tak peduli akan dunia di sekelilingmu. Aku pontang-panting juga kau melirik pun tidak. Yang benar sajalah, masa tidak ada satupun usahaku yang kau akui?

Seperti puzzle yang amat sangat rumit. Semakin kumainkan semakin dia bertambah kacau. Polanya tak tertebak dan akhirnya aku hanya bisa berhenti. Meletakannya di lantai dan memandanginya dari kejauhan. Bukan menyerah, hanya memikirkan strategi selanjutnya. Kuberitahu ya, aku bukan tipe yang mudah menyerah.


D.