21

#writing session: happy




Kita menanti langit kembali biru muda. Duduk-duduk di atas atap dengan setumpuk kartu remi dan sepiring sosis bakar separuh kosong. Sekarang sunyi, semua sudah lelah berkata. Serak suara setelah bercengkrama. Lama, terlalu lama. Untuk terakhir kali kah? Katanya dunia akan berakhir besok.

Deskripsikan hidupmu, dalam satu kata. Satu kata saja, sebagai hadiah perpisahan.

Murung. Bewarna-warni. Sedih. Indah.


Kau tertawa, masih, meskipun dalam hitungan jam kau akan lenyap. Hidup itu pilihan, kau berkata bijak seperti mengutip perkataan dari buku sastra, Sedih itu pilihan, bahagia itu pilihan. Hidup hanya rangkaian hasil dari pilihan-pilihan yang kita ambil.

Semua memandangmu seperti kau gila, masih mencoba berfilsafat saat umur sudah di ujung tali. Kita akan mati. Tapi sampai akhir pun kau masih tersenyum. Kutanya padamu kenapa bisa?

Ini pilihan lain yang kuambil, katamu, sebuah pilihan untuk melihat hal-hal positif di atas yang lain. Tidak mati sendirian, itu perlu disyukuri. Masih memiliki orang tua sampai akhir, itu juga harus diingat. Masih hidup begini. Lebih baik dari mereka, yang sampai akhir tidak memiliki orang tua dan atap untuk berteduh. Lebih baik dari mereka, yang sampai akhir tidak melihat indahnya bintang atau mendengar gemersik dedaunan.

Kita akan mati.


Kau seakan belum mengerti arti dari kalimat itu.

Hanya tersenyum seperti orang gila.


Ingin bertemu Tuhan, katamu, berterima kasih sudah memberikan kehidupan yang luar biasa. Lah. Apanya yang luar biasa, hidupmu biasa saja. Tidak ada bedanya denganku, dengan yang lain. Kau bilang, lihatlah lebih teliti, ada banyak hal kecil maupun besar yang patut disyukuri, Tuhan amat mencintaiku.


Kita akan mati.

Dan kita menantinya dengan senang hati. Dengan satu pak kartu remi dan piring kosong.

Leave a Reply