It wouldn't be the same

It's been bothering her for a while.

Kata-kata seperti itu, efeknya mengerikan.
"Memangnya kalau tidak ada aku kenapa?
Memangnya aku penting?"
Menusuk. Dan entah kenapa bukan sumber rangkaian kata itu yang sedih.

Melankolis mungkin, berpikir terlalu jauh atas sesuatu yang sama sekali bukan urusannya. Spekulasi yang tidak ada ujung pangkal. Sebuah perdebatan tanpa akhir akan sesuatu yang sama sekali tidak pasti. Membebani hati dengan keabstrakan. Tidak berguna memang.

Memang.

Tapi tidak menghentikannya untuk berpikir. Bertanya-tanya. Tahukah bahwa kalimat seperti itu menunjukan kerendahan diri? Ketidakpuasan pada diri sendiri. Orang bilang seseorang tidak akan pernah mencapai keberhasilan tanpa rasa percaya diri. Perkataan itu membuatnya kesal. Tidak suka.


Entah apa maksud sebenarnya. Mungkin hanya sebuah lelucon dan ia mengartikan terlalu dalam. Sensitifitas berlebih. Hanya saja, sulit. Maaf.


Pada kenyataannya memang tiap orang memiliki sisi baik dan buruk. Tidak ada manusia yang sempurna. Klise, sudah terlalu sering disebutkan, bosan dengan perkataan semacam itu? Kenyataan. Seberapapun konyolnya hal ini mungkin terlihat. Hei, berani berkoar Tuhan Mahaadil tapi tidak percaya hal ini. Itu lebih tidak logis.


Mungkin seharusnya, ketika ada orang yang berkata seperti itu lagi, ia akan dengan tegas mengatakan ini. Karena semua orang spesial, karena semua orang memiliki arti tersendiri.

"It wouldn't be the same without you."

Leave a Reply