Selfish


#137 /47- Selfish (N'Sync)

I just don't understand
Why you're running from a good man baby
Why you wanna turn your back on love
Why you've already given up

Ia seorang yang sabar, menunggu separuh hidupnya juga ia bisa. Asalkan akhirnya memang ia bisa mendapatkan keinginannya. Tapi ada saat-saatnya ia tak habis pikir, ketika kedua tangannya bersidekap, matanya menatap tajam ke arah sosok berjarak lima meter darinya; dalam pembicaraan seru dengan seorang pemuda yang sering ia lihat. Ada saat-saatnya ia tak habis pikir, kenapa ia yang begini bisa memainkan peran yang menunggu dan bukan yang ditunggu. Kenapa ia tidak bisa membelokan hati seseorang, kenapa ia tidak bisa mendapatkannya?

Ia seorang yang menjaga agar dirinya tidak menonjol; secara terang-terangan setidaknya. Tapi ada juga saat-saat ia merasa seharusnya ia melakukan lebih, agar diakui, agar dilihat olehnya. Agar perhatiannya tertuju padanya. Tetapi apapun yang ia lakukan, tetap saja, selalu dan selalu, mata milik orang itu mengejar sosok yang lain.

Ia seorang yang puas dengan hidupnya, mensyukuri apa yang sudah diberikan kepadanya. Tapi ada saatnya, ia mengutuk nasibnya dan merasa hidup tidak adil; karena seharusnya orang itu juga miliknya.

Ia seorang yang tenang, jarang menampakan emosi berlebihan. Tapi ada saatnya emosinya meluap-luap, ada saatnya ia begitu marah hingga ia harus memukul dinding dengan kepalan tangannya agar ia tidak langsung mencari target amarahnya dan mengamuk sepuasnya. Meskipun si brengsek itu sudah sepantasnya dihajar karena membuat orang itu menangis. Mengumbar harapan semu kemudian begitu saja menghempaskannya ke tanah. Tidak sadar betapa beruntungnya dia karena mendapatkan sesuatu yang telah ia dambakan sejak lama. Ya, orang itu memang pantas dihajar sampai mati.


Ia seorang yang tegar, ketika ia harus menghadiri pemakaman neneknya pun ia bisa berdiri menyaksikan dengan raut muka datar. Tanpa ada keinginan untuk meneteskan air mata sedikitpun. Tapi ketika ia menatap sosoknya yang menangis dalam diam, ketika ia membiarkan sosok itu memeluknya dan membasahi bagian depan t-shirtnya; ia tidak tegar lagi. Dan ketika orang itu meminta maaf padanya setelah ia menumpahkan seluruh isi hatinya, mengatakan bahwa si brengsek itu sudah sepatutnya dilupakan dan bahwa ia lebih baik darinya; ia merasa ia bisa menangis sejadi-jadinya sekarang.


'Maaf, aku tak bisa.'





I'll be taking up your time
Until the day I make you realize
That for your there could be no one else
I just gotta have you for myself

Hari ini juga ia mendatangi cafe tempat orang itu bekerja. Menempati meja di sudut dan mengamati sekumpulan murid SMA yang tanpa malu-malu memperlihatkan ketertarikan mereka pada orang itu, yang hanya bisa tersenyum terpaksa di belakang meja kasir. Dasar bocah-bocah sialan. Jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar, menatap tajam satu persatu murid-murid yang memanggil-manggil nama orang itu. Ia melirik ke arah kasir, menatap orang asing yang kini berdiri di posisi orang itu. Mengedip beberapa kali, ia menatap pintu untuk karyawan di belakang, mengira orang itu pergi ke ruang karyawan untuk beristirahat. Kecewa sedikit, karena tak bisa melihatnya lagi. Namun sedikit senang, setidaknya bocah-bocah tengik itu juga tak bisa mengganggu orang itu.

Detik berikutnya kursi di hadapannya bergeser dan orang itu sudah duduk di sana, membawa dua gelas cappucino panas seperti yang selalu ia pesan. 'Banyak krim dan banyak gula', orang itu berkata dengan cengiran lebar di wajahnya, 'tak mengerti bagaimana kau bisa suka kopi semanis itu.'

Ia mendengus, merujuk pada kenyataan bahwa orang di depannya itu bisa memakan banyak banyak permen dan cokelat dan tak pernah kelihatan muak dengan semua manisan itu. Ia ingin mengatakan hal itu dengan ekspresi mengejeknya yang biasa, tapi bibirnya kembali mengatup di tengah-tengah. Ia menggenggam erat cangkir kopinya, tak peduli ketika panas cairan yang baru mendidih itu menyakiti telapak tangannya. Karena orang itu memandang pintu dengan penuh harap, masih berharap si brengsek itu kembali. Dan ia tidak tahan menatap penantian yang terlihat jelas di mata orang itu. Padahal dia yang sekarang ini ada di hadapannya, tapi ia merasa tembus pandang. Tak terlihat. Karena orang itu hanya melihat satu orang.

Ha. Ha. Ha.

Ia mengacak rambut orang itu, bercanda dengan menuduhnya melamun karena mendapatkan nilai jelek di ujian kalkulus. Padahal ia tahu dia bisa dibilang master dalam mata kuliah itu. Pukulan ringan mendarat di lengannya dan suara tawa terdengar. Setidaknya ia masih bisa mengalihkan perhatian orang itu. Lima belas menit lagi waktunya sampai ia harus pergi, menghadapi kurva elastisitas harga alih-alih menatap nanar orang yang duduk di hadapannya ini, yang sedang menceritakan salah satu pelanggan kafe yang menabrak pintu tadi pagi, yang terlihat cantik saat tertawa. Meskipun ia bisa melihat sesekali mata orang itu melirik ke arah pintu kaca.





You can call me selfish
But all I want is your love

'Sudah kubilang sebelumnya, aku tak bisa.'

Tapi ia tetap tak bergeming, hanya mengangkat bahunya dan berlalu. Meskipun tekad dalam hatinya masih belum padam. Ia ingin mengutuk si brengsek itu, yang berani mengambil hati seseorang lalu membuangnya begitu saja. Tapi dia tidak pernah membenci orang itu. Sekalipun sudah dilukai, dia masih tetap tersenyum kecil dan berkata bahwa tindakan itu justru membuatnya semakin berpikir bahwa orang itu amat spesial.

Spesial. Ha. Meninggalkan pacarnya sendiri demi selingkuhannya, itu yang disebutnya spesial? Ia tak bisa menerima alasan tidak logis itu. Baginya tindakan brengsek, ya, membuat orang itu brengsek, bukan spesial. Sama sekali tidak spesial. Dan ia tak bisa mengerti mengapa orang di depannya ini masih tetap memendam perasaan pada orang itu sekalipun tahu tidak akan pernah berbalas, tidak mengerti kenapa ia bisa kalah dari orang macam itu. Tak mengerti, sama sekali. Padahal ia siap memberikan semua yang ia miliki untuk orang itu, padahal ia siap melakukan apapun demi orang itu, tapi ia masih tetap kalah.

'Aku menghargai perasaanmu,' kata orang itu suatu kali, alisnya menekuk tidak senang, 'tapi kau tidak bisa memaksakan kehendakmu begitu. Jangan egois.' Keji. Hanya karena ia berkata segera lupakan saja si brengsek itu dan jadi pacarnya saja. Ia biasanya bukan orang yang akan memaksa orang lain, setidaknya secara terang-terangan. Tapi untuk kali ini, ia tak akan menyerah.

Ia tak akan pernah melepaskannya.





You can call me hopeless
Cause I'm hopelessly in love

Ia mengikuti orang itu lagi, toko sepatu, toko olah raga, toko es krim, toko buku; kemanapun. Orang itu awalnya heran, kemudian justru menarik tangannya, menunjuk sneakers putih merah muda yang menurut orang itu sangat 'cute'. Membayangkan senyum orang itu jika ia memberikan sepatu tersebut padanya, ia langsung memutuskan akan membelinya untuk kado ulang tahun orang itu bulan depan. Ia ditarik ke toko boneka, atau apapun toko itu, yang tiap sentinya bewarna pink dan membuat matanya sakit. Ia memasukan tangannya ke dalam saku, berpura-pura tidak peduli meskipun sebenarnya ia gentar melihat semua barang bewarna mencolok begitu. Ia mencari sosok itu yang sudah bergerak cepat ke sudut lain ruangan, cepat-cepat mengikuti di belakangnya, tidak ingin dikira orang aneh karena masuk ke toko yang sudah jelas sangat girly.

Orang itu berdiri di depan boneka kelinci putih besar dengan pita merah muda di lehernya. Ia melihat orang itu berpikir keras. Saat ia bertanya kenapa, kata orang itu ia ingin membeli boneka itu tapi ia sedang menabung untuk membelikan adiknya hadiah jika berhasil masuk SMA yang diinginkannya. Tanpa pikir panjang ia langsung meminta pegawai toko itu membungkus kelinci putih itu. Mata orang itu membelak, cepat-cepat berkata tidak perlu dan beralasan bahwa ia tidak benar-benar menginginkannya. Yang ia tepis dengan mengangkat bahu dan berkata ia hanya ingin membelikannya saja, dan kalau tak mau ia akan memberikan boneka itu pada kakak perempuannya.

Pada akhirnya orang itu memeluk plastik berisi boneka itu erat-erat, mengucapkan terima kasih berulang-ulang dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Si pemuda hanya mengangkat bahu. Ia tidak perlu memberi tahu orang itu bahwa ia terpaksa menunda membeli jam tangan yang sudah lama diinginkannya.

Siapa sangka harga boneka semahal itu.



Orang itu menariknya ke toko yang lain lagi, menunjuk-nunjuk anak kecil manis yang memeluk kaki ayahnya, melakukan hal-hal random yang memunculkan gelak tawa keduanya. Sejenak ia merasa senang, merasa dibutuhkan, setidaknya sampai orang itu menatap toko peralatan musik dengan raut wajah ganjil. Si brengsek itu pandai bermain musik, katanya. Ia menggigit bibirnya, menjaga agar tak mengucapkan kata-kata makian. Butuh waktu hingga ia akhirnya bisa bertindak seakan tidak ada yang terjadi dan menepuk kepala orang itu, nyengir sambil menunjuk restoran di ujung mall dan berkata kau lapar.

Ia menunjuk restoran sushi, karena ia tahu orang di depannya ini penggemar makanan Jepang. Ia tak mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak suka bahkan hanya memikirkan ikan mentah, cukup mengambil unagi dan melihatnya senang bagimu sudah cukup. Perutnya bisa menunggu mie instan di rumah beberapa jam lagi.

Ada sushi di depan mulutnya, dan ia melihat orang itu nyengir. Mengutuk dalam hati, ia membuka mulutnya, mengunyah gumpalan nasi dan ikan itu pelan-pelan. Ekspresinya tetap datar, namun ia cepat-cepat meraih gelasnya. Meneguk isinya banyak-banyak untuk menghilangkan rasa wasabi yang masih menempel di lidahnya. Orang itu tertawa, menyodorkan gelasnya sendiri dan berkata ringan, 'you're hopeless.'





You can call me unperfect
But who's perfect?

'It's not you, it's me,' kata orang itu ketika ia bertanya kenapa orang itu tak masih tak mau menerimanya. Dalam hati ia terus mencari-cari alasan kenapa orang itu belum juga berpaling padanya. Padahal ia sudah melakukan hal-hal sampai sebegini. Ia kurang apa sampai detik ini pun yang diterimanya hanya penolakan.





Tell me what do I gotta do
To prove that I'm the only one for you
So what's wrong with being selfish...?









'Be mine.'

'...okay.'



Leave a Reply