I will forget you

#137/47 - 그럴 겁니다… 잊을 겁니다 (C.N. Blue)


"I will forget you.
Starting today, I don’t know you.
I have never seen you.
We've never even walked pass eachother..."


Kau bersenandung pelan, lebih fokus kepada kata-kata dalam lirik lagu itu daripada musik yang terdengar dari headphone merah mudamu. Bahkan ketika kau mengucapkannya dengan penuh resolusi, kau masih tak yakin dapat melakukannya. Melupakan, bukan sesuatu yang mudah untuk kau lakukan. Terutama ketika yang ingin kau lupakan, terlanjur menempati bagian besar di hatimu. Dan sejujurnya, kau masih belum ingin melupakannya. Sekalipun yang kau dapat karena sifat keras kepalamu itu hanya rasa sakit yang sama sekali tidak berkurang tiap harinya.

Karena kau selalu menyukai orang itu, mulai dari caranya menatapmu dengan pandangannya yang teduh sampai suara tawanya yang rendah dan selalu membuatmu tersenyum ketika mendengarnya. Kau suka mendengarnya bernyanyi, lagu-lagu sendu yang begitu mempengaruhi perasaanmu kala mendengarnya. Padahal sejak lama kau menyadari, kerap kali ia berada di sampingmu, hatinya tak pernah hadir sepenuhnya. Tapi kau berpura-pura tidak tahu, meskipun tiap kali juga, kau merasakan sakit di ulu hatimu ketika kau mendengarkan nada-nada penuh kasih yang ia nyanyikan dan tahu bahwa tiap untaian nada ditujukan untuk orang lain. Dan tetap saja kau meraih tangannya, memanfaatkan kebaikan dirinya yang tak mau menyakiti hatimu dan mengurungnya dalam penjara rasa bersalah.

Karena dia orang yang teramat baik, sedang kau orang jahat. Dan kau memanfaatkan tiap kebaikannya itu. Karena kau enggan kehilangannya.



"When love goes away, another love comes again.
It definitely will.
Even if tears fall now, I will smile a little later..."

Kau memutar lagu yang sama berulang-ulang di iPod-mu, tak bisa tidak merasakan betapa lagu itu menggambarkan dirimu. Kau menyandarkan kepalamu ke dinding di belakangmu, kakimu lemas dan perlahan kau membiarkan tubuhmu jatuh ke lantai. Kau berusaha untuk tidak merasa apa-apa, berulang-ulang meyakinkan dirimu bahwa semua baik-baik saja. Kau menarik nafas dalam-dalam, terus menerus berkata dalam hati bahwa kau tidak membutuhkannya. Bahwa kau bisa melupakannya. Tapi mengingatnya barang sekejap saja langsung membuat keteguhanmu hancur seketika.

'Let's not meet again.'

Kalimat itu terus berdering di telingamu. Meski kau sudah tahu, meski kau sudah menantikan kapan orang itu akan mengucapkan selamat tinggal sejak kau melihat matanya yang selalu mencari sosok seorang yang bukan kau. Kau masih berusaha untuk tegar, karena kau sudah bersiap untuk hari ini. Kau seharusnya sudah siap. Tapi kala itu, kau kembali mengingat bagaimana lengannya merangkul bahumu. Kau kembali teringat pada selera humornya yang unik, yang selalu membuatnya ditertawakan tapi justru membuatmu tertarik padanya. Kau teringat suaranya yang tenang, menemanimu saat kau harus melewati malam bergulat dengan rumus-rumus yang menurutmu absurd. Kau teringat senyumnya yang kekanakan dan bagaimana ia seringkali membuat ekspresi aneh yang bahkan tidak disadari olehnya.

Kau tak ingat sejak kapan air mata mengalir dan kapan kau membenamkan wajahmu ke lengan, seakan berharap kau bisa bersembunyi dari dunia. Kau tak ingat bagaimana kau bisa menghabiskan malam itu; yang pasti, saat telepon genggammu berbunyi, air matamu sudah mengering dan kau menyanggupkan dirimu untuk memulai hari yang baru. Tanpanya.


Bayanganmu di cermin tampak mengerikan. Kau jadi bertanya-tanya apa memang tampangmu seburuk itu. Kau menggelengkan kepala dan membasuh wajahmu dengan air, berupaya menghilangkan sisa-sisa kesedihan yang tampak jelas. Kau menatap dirimu yang lain, berusaha menggerakan bibirmu membentuk senyum. Tapi yang ada di wajahmu hanyalah senyum terpaksa yang sama sekali jauh dari bahagia. Membuatmu gusar setengah mati hingga rasanya ingin mempraktikan bela dirimu kepada bayanganmu. Meskpun kau cepat menyadari itu ide yang konyol dan cepat-cepat keluar dari kamar mandi sebelum kau benar-benar melakukannya.

Kau mengambil kotak sereal dan susu vanilla dingin dari lemari es, bersiap untuk rutinitas harian yang semakin lama terasa semakin hampa. Ketika itu telepon genggammu berbunyi lagi, dan kau tidak bisa menghalangi dirimu untuk sedikit berharap bahwa ia berusaha menghubungimu. Dan kau harus menelan kekecewaan ketika nama yang tertera di layar bukan miliknya.



"It’s not difficult.
I will forget everything after today.
I’m just getting used to my changed life..."

Ketika kebetulan caffe tempatmu bekerja memutar lagu itu, kau merasa bahwa kebetulan memang sangat menyebalkan. Kau harus menahan diri untuk tidak memasang headphonemu dan menyetel volume iPod-mu keras-keras sepanjang shift-mu. Dan ketika hari itu gerombolan bocah SMA yang biasa mengganggumu datang berkunjung, kau benar-benar merasa bahwa takdir memusuhimu. Karena harimu tidak mungkin bisa lebih buruk daripada ini.

Helaan nafas, entah untuk yang keberapa kali hari itu. Kau hanya bisa menyunggingkan senyum terpaksa, tamu adalah raja, kata bosmu setiap pagi. Kau melihat seisi ruangan itu, berhati-hati agar tidak mendaratkan pandanganmu ke gerombolan bocah SMA yang tadi. Dan pandanganmu berhenti di sosok seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan, dengan alis mengernyit tanda tak suka di wajahnya. Kau melebarkan matamu, tanda tidak mengerti yang terkadang justru membuat orang lain mencubit pipimu. Terus terang kau penasaran kenapa adik kelasmu itu terlihat siap menerkam orang lain, jadi kau menepuk bahu temanmu dan memintanya menggantikanmu sebentar di kasir.

Kau mendatanginya dengan dua gelas cappucino panas di tanganmu. Yang satu dengan tambahan krim dan gula, seperti yang kau ketahui disukai oleh orang itu. Ia terlihat sedikit terkejut ketika kau meletakan gelas-gelas itu di atas meja dan duduk di depannya. Kau hanya tersenyum dan mengomentari selera minum pemuda itu. Ia duduk di depanmu begini, seperti yang biasa kau lakukan dengan dengan orang itu. Kau jadi merasa kesepian lagi, matamu tanpa sadar bergerak ke arah pintu masuk. Harapan bisu bahwa orang itu akan muncul dan menyapamu, seperti yang biasa ia lakukan dulu. Tanpa sadar kau mengepalkan tanganmu, rasa tidak ingin menerima kembali lagi menerpa.

Kau merasakan seseorang menyentuh dahimu, dan kemudian mengacak-acak rambutmu. Membuatmu sedikit kaget dan memajukan bibirmu ketika kau menyadari orang yang mengusap-usap kepalamu itu adalah adik kelasmu itu. Kau menyipitkan matamu, berpikir bahwa bocah di depanmu ini sangat tidak sopan. Ditambah lagi dengan ejekan yang mengikuti tindakannya itu. Kau memukul lengannya, pura-pura marah. Tapi kau tidak bisa menyembunyikan gelak tawa yang mengikuti sesudahnya. Dan kau sedikit merasa senang, karena setidaknya kau bisa melihat bahwa hidupmu tidak berakhir hanya karena seseorang menginggalkanmu. Meskipun ketika kau melirik ke arah pintu sekali lagi, kau masih tetap berharap bahwa orang itu akan muncul. Harapanmu, seberapapun mustahilnya, masih tetap tidak ingin pergi.




'I like you.'

Kau ingin melupakan orang itu, sungguh. Dan kau benar-benar berharap kau bisa membalas pernyataan ini. Sesaat kau tergoda untuk meraih tangannya dan menyelipkan jemarimu di sela-sela jemarinya yang lebih besar, sesaat kau tergoda untuk menggunakannya sebagai tameng dari segala kesedihanmu. Namun kau tahu kau tidak bisa. Kau tidak ingin memanfaatkannya seperti itu, memberinya harapan kosong sementara hatimu tetap mencari-cari sosok orang yang lain. Jadi kau hanya bisa menundukan kepalamu dan menggelengkan kepalamu. Mengucapkan 'maaf' dengan suara lirih.


'I like you, I really like you.'

Ketika untuk kesekian kalinya ia mengatakan hal itu kepadamu, kau tidak tahu harus merasa sedih atau tersanjung. Kau mengagumi perasaannya, tekadnya, dan keberaniannya meski tahu kau masih tetap akan menolaknya. Kau berandai-andai, kalau saja dari awal kau memberikan hatimu padanya dan bukan orang itu, mungkin hidupmu akan lebih baik. Karena kau tahu dia adalah orang yang teramat baik, hingga bahkan terasa surreal, karena seharusnya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi dia seakan melanggar aturan itu dan kau tidak bisa melihat kekurangannya barang sedikit pun. Dan kau bertanya-tanya, mengapa meskipun mengetahui hal itu, kau masih tetap tidak bisa membalas perasaannya.


'Really, just forget about that jerk and be mine.'

Kali lain kau berpikir seharusnya kau merasa tersanjung mendengarkan kata-kata itu terucap dalam suara tenornya. Kau menatap matanya, merasa bersyukur tidak membawa apa-apa di tanganmu, karena kau pasti menjatuhkannya ketika mendengar kalimat itu. Kau tahu kau seharusnya merasa senang bahwa ada seseorang yang begitu peduli padamu, selalu ada untukmu. Tapi kau justru merasa kesal, karena dia menyebut orang itu dengan sebutan begitu. Dan kau menyadari, bahwa hingga saat ini pun kau masih belum bisa mengusir bayangan orang itu dari kepalamu. Kau merasa menyesal ketika kau bicara padanya dengan nada tinggi, menyebutnya egois karena memaksakan perasaannya padamu.

Tapi dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipimu dan mengecup lembut dahimu. Kebaikannya itu membuatmu ingin menangis, mengutuk hatimu yang masih tidak bisa membalas perasaannya.




"Love is always like this.
It fades away after some time.
Can’t even remember it."

Kau tidak bisa mengenyahkan bayangan orang itu dari kehidupanmu. Wajahnya seakan muncul dari tiap hal kecil yang kau lihat tiap hari. Kau melewati toko es krim dan teringat bagaimana ia tidak pernah mau makan sesuatu yang dingin namun tetap membelikanmu kerap kali karena ingat bahwa kau amat menyukai es krim stroberi. Kau melihat pengamen di jalan dan teringat bahwa orang itu amat suka menyanyi, dan dia tidak pernah menolak ketika kau memintanya menyanyikan lagu kalian berdua. Kau melihat toko musik dan teringat bagaimana jari-jarinya menari lincah di atas piano dan bagaimana ia mengiringi permainan gitarmu dengan suaranya yang lembut. Meski sudah hitungan bulan kalian tidak bertemu, meski sudah hitungan bulan sejak kalian berpisah, tapi ia masih menginvasi hari-harimu dan kau muak dengan hal itu.

Tapi kau bersyukur, karena tiap kali juga, selalu ada lengan yang merangkul bahumu, selalu ada tangan yang mengusap kepalamu. Sebenarnya kau takut akan ada karma yang mengikutimu setelah ini karena kau memanfaatkan rasa sayang orang itu padamu dan menjadikannya sebagai tameng. Tapi ketika kau mengatakan kekhawatiranmu itu padanya, pemuda yang lebih muda darimu itu memberitahumu dengan wajah serius bahwa ia tidak keberatan dimanfaatkan asalkan itu olehmu.



Ia selalu berada disisimu, tiap harinya cerita dalam hidupmu kini berkisar antara ia begini, ia begitu. Kini bahkan di dalam kamarmu terdapat jejak kehadirannya, foto kalian berdua yang dibingkai dalam pigura di atas meja belajarmu, kelinci putih besar yang dibelikannya beberapa hari yang lalu, jaket yang dipinjamkannya ketika kalian berdua pulang larut sehabis menonton acara di universitasnya. Meski begitu, kau masih bisa merasakan jejak-jejak kehadiran orang itu juga. Gitar di sudut kamarmu yang belum kau sentuh sejak hari perpisahan itu, memori tentang orang itu masih terukir dengan jelas di sana. Di tiap jengkal kamarmu; bayangan orang itu juga masih ada. Dan itu selalu dan selalu membuatmu menahan dirimu untuk menerima dia, karena dia tak pantas mendapatkan seseorang yang tidak bisa mengembalikan perasaannya sepenuhnya.


'Why can you just accept me? Am I too unperfect for you?'

Kau menggeleng ketika mendengar pertanyaannya itu. Justru karena ia terlalu sempurna di matamu, kau tidak bisa mengatakan ya kepadanya. Selama orang itu terus hadir di tiap fragmen pikiranmu; kau tidak mungkin membohongi dirinya dan berpura-pura bahwa kau mengembalikan tiap perasaannya dengan intesitas yang sama sementara kau tahu bahwa sebagian besar hatimu masih bertahan di satu tempat. 'It's not you, it's me,' kau berkata pelan, beranjak dari kursimu dan hendak pergi meninggalkannya ketika kau merasakan jemarinya melingkari pergelangan tanganmu; mencegahmu pergi. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi genggamannya tidak ia lepas sampai lama sesudahnya.



Hari itu menyisakan kenangan yang amat jelas di dalam benakmu. Diawali dengan rutinitas yang sama dan berakhir pada ajakan orang itu untuk pergi ke toko kue di daerah yang memang sudah menjadi jajahan kalian. Seharusnya hari ini tidak akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kalian menghabiskan waktu berdua dan kemudian dia akan memaksa untuk mengantarkanmu pulang; yang pada akhirnya kau terima saja meskipun kau tidak mengerti mengapa ia harus melakukannya. Seharusnya semuanya berjalan seperti itu. Kau tidak pernah menyangka bahwa kau akan bertemu dengan orang itu, merusak rutinitas dan keseimbangan yang susah payah kau bangun.


Senyumnya masih sama dengan yang kau ingat dulu, begitu juga caranya menyebut namamu. Kau tidak tahu harus bagaimana, jadi kau membiarkannya bicara. Dan terakhir ia mengajakmu untuk minum kopi sebentar, kau langsung menyanggupinya. Sesaat melupakan seseorang di sisimu, yang sudah terlebih dahulu kau janjikan keberadaanmu. Ketika kau ingat dan menoleh ke arahnya, kau bisa melihat emosi yang terbendung dari caranya menatapmu. Dan kau merasa sakit. Terlebih ketika ia mengucapkan selamat tinggal dan tersenyum pada orang itu sekalipun kau bisa melihat semua itu tidak nyata. Kau ingin menahannya, namun pada akhirnya kau hanya bisa merelakan kepergiannya.


Pada akhirnya, kau tidak menyesal karena menerima ajakan orang itu. Semua hampir terasa seperti dulu, hampir. Ada cincin platina melingkari jari manis orang itu, identik dengan cincin yang kau ketahui melingkari jari sahabatmu. Kau sadar bahwa ia bukan milikmu lagi. Meskipun tiap momen berlalu seperti tidak pernah ada perpisahan di antara kalian. Dan di akhir waktu, saat ia memberimu pelukan singkat dan mengusap kepalamu seperti yang ia biasa lakukan, kau sadar bahwa kau juga bukan lagi miliknya.

Kau hampir berlari pulang, tidak sabar. Berkali-kali melirik telepong genggammu dan mempertimbangkan untuk mengirimkan pesan kepada orang itu. Tapi kau urungkan niatmu itu, memutuskan untuk melakukannya setelah kau sampai. Kau tidak pernah menduga ia akan menunggumu di depan rumahmu, menyandarkan tubuhnya ke pagar dan menatap langit. Entah sudah berapa lama ia menunggumu di situ. Entah sudah berapa lama ia menunggumu. Kau tidak mengatakan apa-apa; hanya menariknya ke dalam rumah.


'Sing.'

Itu kata yang pertama kau ucapkan padanya, dengan gitarmu di tangan memainkan melodi yang kalian berdua kenal betul. Melodi yang menghantui hidupmu selama bulan-bulan terakhir. Kau melihatnya ragu sesaat; kemudian nada-nada mengalir begitu saja dari tenornya yang lembut.



"Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze ?"


Ini kali kedua kau menangis karena lagu yang sama. Namun kini dengan alasan yang berbeda. Kau menyentuh tempat dimana jantungmu berada, menggenggam bajumu erat-erat sementara air mata terus mengalir di pipimu. Ia duduk di sampingmu, melingkarkan lengannya di bahumu. Dan kau merasa bodoh. Si idiot yang tidak menyadari bagaimana orang di sampingmu telah menjadi sosok yang paling penting bagimu; buta karena ilusi dari cinta lama. Kau merasa seperti disiram oleh jutaan emosi, semua yang kau bendung mendadak mengalir. Dan kau tidak mengerti mengapa selama ini kau tidak menyadarinya. Kasihnya yang tak putus berapa kalipun kau menolaknya, kehadirannya yang konstan meski tak pernah kau minta, tiap perhatian yang ia curahkan padamu, semua, semua yang telah ia berikan padamu.

'I love you,' kata yang akhirnya kau ucapkan di sela tangisanmu. Kau mengenggam lengan bajunya erat-erat; enggan melepaskannya lagi. Kau mengulang-ulang kalimat itu terus menerus, membenamkan wajahmu ke bahunya. Kali berikutnya ia berkata padamu, 'be mine,' kau tanpa ragu mengiyakannya.




Pada akhirnya gitarmu menjadi pengingat dari memori yang baru. Pengingat akan pemilik suara tenor lembut yang selalu ada di sisimu.

Leave a Reply