Simple thought

Melelahkan.

Bagi gadis itu hanya ada satu kata yang mewakili perasaannya sebagai kelas tiga, lelah. Tidak usah bicara mengenai tugas-tugas yang diberikan tanpa pandang bulu oleh para guru--apa hanya dia berpikir sama bahwa seharusnya guru-guru memberikan tugas secara bergantian dan terorganisir sehingga tidak akan ada peristiwa di mana guru mencaci muridnya karena ketidakmampuannya mengerjakan lima tugas sekaligus--atau rentetan ulangan yang diadakan ketika muridnya bahkan belum mencerna separuh dari ilmu yang seharusnya diberikan pada mereka. Baginya, cukup menjadi seorang siswi kelas 3 SMA saja sudah cukup melelahkan.

Hei, mereka membawa beban bernama PTN di bahu mereka. Bagi mereka yang sudah pasti akan pilihan mereka mungkin mudah. Dan gadis itu bersyukur dia sudah memilih arahnya. Tapi ia tahu tidak sedikit kawannya yang jangankan arah yang dituju, tempatnya berada sekarang saja mereka tak tahu.

Tuhan Maha Pengasih.
Semoga kami mendapatkan apa yang terbaik bagi kami.


Kegiatannya akhir-akhir ini berkisar pada dua hal, regenerasi ekstra kurikuler dan belajar. Belajar bukan sebuah beban untuknya, kalau boleh dibilang, ia menikmati pelajaran. Well, mungkin ia tetap senang saat satu-dua guru dikabarkan tidak masuk, tapi dia tidak membenci sekolah. Regenerasi, adalah hal yang lain lagi. Bukannya ia membencinya, ia bisa dibilang justru menyukainya. Ia bisa mempelajari banyak hal dari kegiatan ini. Meskipun seharusnya kelas tiga memberikan pelajaran pada penerusnya, ia justru merasa ia lebih banyak mendapat pelajaran dari sini.

Ada satu kejadian baru-baru ini yang membuatnya tersadar akan suatu hal yang, well, sebenarnya ia sudah ketahui dari dulu tapi tidak pernah ia syukuri. Di salah satu pertemuan dalam kegiatan regenerasi itu, ada seseorang yang bertanya pada kelas tiga angkatan gadis itu. Sebuah pertanyaan simpel:

Bagaimana jika kelebihan dan minat kita tidak sejalan?

Dan dia bertanya pada dirinya sendiri apa yang akan ia lakukan jika berada dalam posisi yang sedemikian. Tapi kemudian ia sadari bahwa ia belum pernah merasa seperti itu. Ia berminat pada apa yang hal ia bisa, dan ia meninggalkan apa yang ia tidak suka atau tidak ia kuasai. Dan--apakah itu berarti dirinya pengecut? Ia merasa seperti itu. Egois sebenarnya. Ia tidak suka kekalahan, ia tidak suka menjadi bukan salah satu yang terbaik, jadi ia hanya menyukai apa yang ia bisa. Dan ia tidak tertarik dengan hal yang ia tidak bisa. Sehingga ada alasan untuknya saat ia menjadi yang terburuk dengan berkata, "so? it doesnt matter. i dont want to do it anyway."

Dia menjawab pertanyaan sebelumnya dengan mengutip perkataan salah seorang teman baiknya: Jika kamu tidak bisa melakukan apa yang kamu cintai, cintailah apa yang kamu lakukan.

Mungkin ia sebenarnya hanya mencari pembenaran atas sifatnya sendiri. Dia yang hanya bersungguh-sungguh pada hal yang ia tahu ia bisa lakukan. Tapi Mahabesar Tuhan, setidaknya dia menjadi lebih bersyukur sekarang. Karena ia tahu betapa beruntungnya dia memiliki kelebihan dan betapa beruntungnya karena dia mencintai kelebihannya sendiri. Sebutlah dia pengecut yang tidak suka mengambil resiko kalah, tapi setidaknya dia menghargai dirinya sendiri. Dan siapa orang yang lebih beruntung kecuali mereka yang bersyukur atas apa yang sudah diberikan oleh sang Pencipta?

Tapi ketahuilah bahwa menurutnya kalimat dari sang teman memang benar. Kenapa harus memaksakan diri berdiri di jalan yang belum pasti? Mengapa tidak kita coba untuk memaksimalkan potensi yang memang sudah diberikan kepada kita dengan sebaik-baiknya.

Leave a Reply