for the fairest

She knows.
...


Kalimat itu terus terulang di benaknya tanpa henti. Tanpa mengenal waktu dan dimensi. Ia tidak berdaya untuk menghentikannya. Seakan itu sebuah kutukan yang membayangi kehidupannya. Sebuah vonis hukuman yang menghancurkan tiap keping impiannya—menghancurkan kisah dongeng mereka. Dan seakan itu belum cukup, setiap kelopak matanya menutup yang terbayang hanya wajah Michelle saat itu.

"That ring—you don't wear it."

Tangannya merogoh kantung jubahnya—tempat cincin yang dimaksud berada selama beberapa tahun terakhir. Bukannya ia merasa benda itu berharga sampai harus ia selalu bawa-bawa atau benda itu sebegitu pentingnya hingga ia harus menggenggamnya setiap beberapa waktu. Lingkaran platina itu adalah pengingat. Pengingat mengenai misinya yang belum terselesaikan, pengingat akan seseorang yang terkasih—his Psyche, bukannya ia perlu sebuah pengingat ketika wajah gadis itu satu-satunya yang terbayang—yang sayangnya, bukan pemilik dari pasangan cincin platinanya. Logam di dalam genggamannya itu, ia sedang menunggu waktu ketika ia bisa membuangnya jauh-jauh. Dan sampai saat itu tiba, cincin itu akan terus berada dalam genggamannya. Simbol janjinya. Sehingga ketika ia berada dalam pertemuan bisnis atas nama Harvarth, dengan jas hitam serta gaya rambut yang terlalu rapi dan bukan seperti dirinya ataupun ketika ia sedang meneguk segelas champagne dalam pesta dansa yang diadakan bangsawan Eropa lainnya, ia akan tetap mengingat ada sesuatu yang ia harus selesaikan. Sebuah janji yang teramat penting.


"Don't leave."

Never, princess.
Never ever.


***

Nate, Michelle, Ameh, I miss you... TAT

*will do her best at the exam*


Leave a Reply